Senin, 06 Maret 2017

MUSYAHADAH : Mempertajam Mata Hati, Menatap Cahaya Ilahi


K.H. Drs. Malikun, M.Pd.I.
MUSYAHADAH : 
Mempertajam Mata Hati, Menatap Cahaya Illahi


      1.      Pendahuluan

Setelah bersyahadat, seorang muslim mesti sadar bahwa syahadatnya tidak hanya berhenti pada ucapan tetapi menancap dalam hati sedalam-dalamnya, lalu dilanjutkan dengan penyempurnaannya melalui perbuatan yang disandarkan kepada kesadarannya bahwa mata hatinya sedang menatap cahaya al Haq atau paling tidak kesadaran bahwa perbuatannya sedang dilihat oleh al Haq. Tanpa hal demikian, syahadat seorang muslim hanya akan sia-sia dan paling parah akan terjangkit penyakit hati seperti nifaq, lalu lambat laun-laun akan menjadi kufur.

              Tidak semua upaya menyempurnakan syahadat itu berhasil membuahkan sebuah tatapan jernih kepada Yang Maha Haq karena ada hijab yang menghalangi seorang muslim dengan Tuhannya. Namun, hijab itu bukan datang dari Zat Yang Maha Bercahaya, justru datang dari dirinya. Dipertanyakan, bagaimana bisa terjadi Allah itu terhalang sesuatu sedangkan Dia yang mewujudkan segala sesuatu? Bagaimana bisa terjadi Allah itu terhalang sesuatu padahal Dia nampak pada semua makhluk-Nya? Bagaimana bisa terjadi Allah terhalang sesuatu padahal Dia nampak pada setiap yang ada selain-Nya?[1]

              Itulah sebabnya, musyahadah menjadi solusi untuk mempertajam mata hati seorang muslim agar tidak ada lagi hijab yang menghalang tatapannya terhadap cahaya al Haq. Lalu, apa itu musyahadah? Penghalang apa yang menutupi mata hati sehingga sulit menatap Cahaya Illahi? Ketiga pertanyaan tersebut yang menjadi pijakan penulis untuk memerikan musyahadah sebagai solusi mempertajam mata hati dalam menatap Cahaya Illahi.

       2.      Pengertian Musyahadah

Dari segi bahasa, perkataan ‘musyahadah’ berasal dari kata ‘syahida’ yang berarti tahu, ‘syaahada’ berarti melihat dengan mata, dan ‘musyahadah’ yang berarti penglihatan.[2] Kata ‘musyahadah’ juga diartikan penyaksian atau pandang shuhud. Dalam definisi lain, musyahadah adalah suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yang tidak diragukan lagi.[3]

              Musyahadah atau penyaksian terhadap al Haq tentu mwngharapkan tembusan sinar kebenarab yang menelusup ke dalam jiwa, perasaan dan hati, sinar yang dinamakan ‘nur makrifat’ Dengan sinar ini seorang muslim bermusyahadah. Untuk musyahadah, diperlukan tiga alat batin, yaitu bashirah [pandangan batin]. ‘ainul bashirah [mata pandangan batin], dan syi’aul bashirah [nyala pandangan batin].[4]

            Dalam pandangan Syekh Abdul Qadir al Jailani, musyahadah ada dua jenis, yaitu musyahadah terhadap sifat keindahan Allah yang sempurna secara langsung di akhirat, dan musyahadah terhadap sifat-sifat ketuhanan yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih dalam hati yang murni dalam kehidupan ini.[5] Dalam hal ini, musyahadah mampu menampakkan cahaya yang terpantul dari keindahan Allah yang sempurna dan dilihat mata hati yang hakiki, sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya), “Hatinya tidak mendistakan apa yang telah dilihatnya.” [6]

      3.      Penghalang Musyahadah

Banyak faktor yang bisa menutupi pandangan batin sehingga sehingga sulit untuk bermusyahadah kepada al Haq. Yang paling jelas menghalangi adalah  perbuatan memperturutkan hawa nafsu dan syahwat.  Dua hal tersebut akan berbuah penyakit hati, hubbud dunya [cinta dunia dan melupakan akhirat]. Pada akhirnya, si pelaku terjatuh dalam perbuatan maksiat yang berkepanjangan sehingga hati menjadi hitam pekat dan hilanglah fungsi hati sebagai cermin untuk menantap (bermusyahadah) Zat Yang Maha Sempuna.[7]

             Faktor lain yang menghalangi musyahadah adalah syirik khafi [samar] yaitu riya, sum’ah, dan ujub. Ketiganya menghilangkan kesadaran bahwa hanya Allah-lah yang menggerakkan setiap amalnya. Allah itu Khaliq [Pencipta apapun], dan perbuatan seorang muslim adalah makhluk [ciptaan Allah]. Oleh karena itulah, ketiganya menutupi dari musyahadah dalam setiap amalnya, yang pada akhirnya menjadi kesia-sian belaka.
              Semua penyakit hati menjadi penghalang dalam bermusyahadah. Keangkuhan terhadap kebenaran akan menghilangkan sinar kebenaran yang terpancar dari al Haq. Kemunafikan atau berpura-pura menerima kebenaran juga akan melenyapkan kebenaran hakiki. Begitu juga kemalasan dalam mengambil kebenaran yang pada hakikatnya dipancarkan oleh al Haq justru akan memadamkan cahaya kebenaran itu sendiri. Banyak lagi penyakit hati yang mesti diwaspadai dalam bermusyahadah, seperti kebodohan, prasangka buruk, dan terlalu sibuk dengan urusan dunia.[8]

      4.      Kaifiyah Musyahadah

Secara umum, kaifiyah yang dikemukakan di sini masih sekedar latihan awal. Agar lebih sempurna diperlukan petunjuk dari mursyid [guru]. Latihan yang dimaksud adalah pertama, musyahadah terhadap diri sendiri. Keyakinan bahwa diri sendiri adalah ciptaan-Nya adalah wujud musyahadah. Kesadaran akan gerak-gerik persendian, perbuatan tangan, langkah kaki, tarikan nafas, dan sebagainya tidak lain adalah ciptaan-Nya menjadikan musyahadah semakin mudah. Dalam hal tersebut, Allah SWT berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kalian dan apapun yang kalian kerjakan.”[9]

              Latihan kedua adalah musyahadah terhadap sesuatu di luar diri sendiri. Banyak benda, peristiwa, dan keadan yang terjadi di luar diri sendiri. Ada yang berkenan, ada yang tidak. Bila diteliti nampaklah adanya hubungan sebab-akibat satu sama lain, seakan-akan seperti mata rantai yang tidak ada putus-putusnya. Siapa yang menciptakannya? Penciptanya tidak ada yang lain, kecuali Allah Yang Haq. Dengan demikian, ketika memperhatikan kejadian demi kejadian, mudahlah musyahadah terhadap al Haq dilakukan.

              Yang ketiga adalah musyahadah terhadap manusia lain dengan serba-serbinya. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Dengan bentuk yang paling bagus, manusia dilengkapi dengan akal dan nafsu. Satu sama lain berbeda. Dari warna kulit, rambut, status sosial, dan sebagainya menunjukkan kesempurnaan secara global. Mengapa terjadi? Inikah kesempurnaan? Sesuatu keunikan dan penuh misteri tetapi penuh keindahan. Siapa Penciptanya? Dialah Yang Maha Haq. Dia berbuat apapun yang Dia kehendaki. Dalam hal tersebut, Allah berfirman [yang artinya], “Maha berbuat atas apa yang Dia kehendaki” [10]Jika ketiga latihan tersebut dikerjakan apa lagi dengan bimbingan mursyid, mata hati menjadi tajam dan mudah dalam menatap cahaya ILLahi.

       5.      Penutup

Musyahadah adalah menatap cahaya Illahi dengan mata hati. Agar dapat bermusyahadah, perlu dihindari perbuatan yang berangkat dari nafsu dan syahwat yang dilandasi penyakit hati hubbud dunya dan penyakit hati lainnya. Untuk bermusyahadah dibutuhkan latihan-latihan seperti memandang diri sendiri, memandang sesuatu di luar diri sendiri, dan memandang  manusia lain dengan serba-serbinya. Wallahu a’lam bish shawab.





[1]Syekh Ibnu ‘Athaillah, “al Hikam”, Tuban: al Balagh, t.t. hlm. 13-14
[2] Muhammad Idris Abdul Rauf Marbawi, “Kamus Idris Marbawi” , Semarang: Wannasyir t.t., hlam. 328
[3] K.H. Haderani H.N., “Ilmu Ketuhanan 4 M”, Surabaya: Nur Ilmu, t.t., hlm. 57
[4] Ibid, hlm. 60
[5] Syekh Abdul Qadir al Jaelani, “Lautan hakikat’ terj., Yogyakarta: Media Firdaus, 2010, hlm.61
[6] Q.S. An Najm [53]: 11
[7] K.H.Haderani H.N. op.cit, hlm. 60
[8] K.H.Haderania H.N., op.cit., hlm. 69
[9] Q.S. Ash Shafat: 96
[10] Q.S.Al Buruj:16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...