1.
Pendahuluan
Setelah bersyahadat, seorang muslim
mesti sadar bahwa syahadatnya tidak hanya berhenti pada ucapan tetapi menancap
dalam hati sedalam-dalamnya, lalu dilanjutkan dengan penyempurnaannya melalui
perbuatan yang disandarkan kepada kesadarannya bahwa mata hatinya sedang
menatap cahaya al Haq atau paling tidak kesadaran bahwa perbuatannya sedang
dilihat oleh al Haq. Tanpa hal demikian, syahadat seorang muslim hanya akan
sia-sia dan paling parah akan terjangkit penyakit hati seperti nifaq, lalu
lambat laun-laun akan menjadi kufur.
Tidak semua upaya menyempurnakan
syahadat itu berhasil membuahkan sebuah tatapan jernih kepada Yang Maha Haq
karena ada hijab yang menghalangi seorang muslim dengan Tuhannya. Namun, hijab
itu bukan datang dari Zat Yang Maha Bercahaya, justru datang dari dirinya.
Dipertanyakan, bagaimana bisa terjadi Allah itu terhalang sesuatu sedangkan Dia
yang mewujudkan segala sesuatu? Bagaimana bisa terjadi Allah itu terhalang
sesuatu padahal Dia nampak pada semua makhluk-Nya? Bagaimana bisa terjadi Allah
terhalang sesuatu padahal Dia nampak pada setiap yang ada selain-Nya?[1]
Itulah sebabnya, musyahadah
menjadi solusi untuk mempertajam mata hati seorang muslim agar tidak ada lagi
hijab yang menghalang tatapannya terhadap cahaya al Haq. Lalu, apa itu
musyahadah? Penghalang apa yang menutupi mata hati sehingga sulit menatap
Cahaya Illahi? Ketiga pertanyaan tersebut yang menjadi pijakan penulis untuk
memerikan musyahadah sebagai solusi mempertajam mata hati dalam menatap Cahaya
Illahi.
2.
Pengertian Musyahadah
Dari segi bahasa, perkataan
‘musyahadah’ berasal dari kata ‘syahida’ yang berarti tahu, ‘syaahada’ berarti
melihat dengan mata, dan ‘musyahadah’ yang berarti penglihatan.[2]
Kata ‘musyahadah’ juga diartikan penyaksian atau pandang shuhud. Dalam definisi
lain, musyahadah adalah suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yang
tidak diragukan lagi.[3]
Musyahadah atau penyaksian
terhadap al Haq tentu mwngharapkan tembusan sinar kebenarab yang menelusup ke
dalam jiwa, perasaan dan hati, sinar yang dinamakan ‘nur makrifat’ Dengan sinar
ini seorang muslim bermusyahadah. Untuk musyahadah, diperlukan tiga alat batin,
yaitu bashirah [pandangan batin]. ‘ainul bashirah [mata pandangan batin], dan
syi’aul bashirah [nyala pandangan batin].[4]
Dalam pandangan Syekh Abdul Qadir
al Jailani, musyahadah ada dua jenis, yaitu musyahadah terhadap sifat keindahan
Allah yang sempurna secara langsung di akhirat, dan musyahadah terhadap
sifat-sifat ketuhanan yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih dalam hati
yang murni dalam kehidupan ini.[5]
Dalam hal ini, musyahadah mampu menampakkan cahaya yang terpantul dari
keindahan Allah yang sempurna dan dilihat mata hati yang hakiki, sebagaimana
firman Allah SWT (yang artinya), “Hatinya
tidak mendistakan apa yang telah dilihatnya.” [6]
3.
Penghalang Musyahadah
Banyak faktor yang bisa menutupi
pandangan batin sehingga sehingga sulit untuk bermusyahadah kepada al Haq. Yang
paling jelas menghalangi adalah
perbuatan memperturutkan hawa nafsu dan syahwat. Dua hal tersebut akan berbuah penyakit hati,
hubbud dunya [cinta dunia dan melupakan akhirat]. Pada akhirnya, si pelaku
terjatuh dalam perbuatan maksiat yang berkepanjangan sehingga hati menjadi
hitam pekat dan hilanglah fungsi hati sebagai cermin untuk menantap
(bermusyahadah) Zat Yang Maha Sempuna.[7]
Faktor lain yang menghalangi
musyahadah adalah syirik khafi [samar] yaitu riya, sum’ah, dan ujub. Ketiganya
menghilangkan kesadaran bahwa hanya Allah-lah yang menggerakkan setiap amalnya.
Allah itu Khaliq [Pencipta apapun], dan perbuatan seorang muslim adalah makhluk
[ciptaan Allah]. Oleh karena itulah, ketiganya menutupi dari musyahadah dalam
setiap amalnya, yang pada akhirnya menjadi kesia-sian belaka.
Semua penyakit hati menjadi
penghalang dalam bermusyahadah. Keangkuhan terhadap kebenaran akan
menghilangkan sinar kebenaran yang terpancar dari al Haq. Kemunafikan atau
berpura-pura menerima kebenaran juga akan melenyapkan kebenaran hakiki. Begitu
juga kemalasan dalam mengambil kebenaran yang pada hakikatnya dipancarkan oleh
al Haq justru akan memadamkan cahaya kebenaran itu sendiri. Banyak lagi
penyakit hati yang mesti diwaspadai dalam bermusyahadah, seperti kebodohan,
prasangka buruk, dan terlalu sibuk dengan urusan dunia.[8]
4.
Kaifiyah Musyahadah
Secara umum, kaifiyah yang
dikemukakan di sini masih sekedar latihan awal. Agar lebih sempurna diperlukan
petunjuk dari mursyid [guru]. Latihan yang dimaksud adalah pertama, musyahadah
terhadap diri sendiri. Keyakinan bahwa diri sendiri adalah ciptaan-Nya adalah
wujud musyahadah. Kesadaran akan gerak-gerik persendian, perbuatan tangan,
langkah kaki, tarikan nafas, dan sebagainya tidak lain adalah ciptaan-Nya
menjadikan musyahadah semakin mudah. Dalam hal tersebut, Allah SWT berfirman
(yang artinya), “Allah yang menciptakan
kalian dan apapun yang kalian kerjakan.”[9]
Latihan kedua adalah musyahadah
terhadap sesuatu di luar diri sendiri. Banyak benda, peristiwa, dan keadan yang
terjadi di luar diri sendiri. Ada yang berkenan, ada yang tidak. Bila diteliti
nampaklah adanya hubungan sebab-akibat satu sama lain, seakan-akan seperti mata
rantai yang tidak ada putus-putusnya. Siapa yang menciptakannya? Penciptanya tidak
ada yang lain, kecuali Allah Yang Haq. Dengan demikian, ketika memperhatikan
kejadian demi kejadian, mudahlah musyahadah terhadap al Haq dilakukan.
Yang ketiga adalah musyahadah
terhadap manusia lain dengan serba-serbinya. Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna. Dengan bentuk yang paling bagus, manusia dilengkapi dengan akal dan
nafsu. Satu sama lain berbeda. Dari warna kulit, rambut, status sosial, dan
sebagainya menunjukkan kesempurnaan secara global. Mengapa terjadi? Inikah
kesempurnaan? Sesuatu keunikan dan penuh misteri tetapi penuh keindahan. Siapa
Penciptanya? Dialah Yang Maha Haq. Dia berbuat apapun yang Dia kehendaki. Dalam
hal tersebut, Allah berfirman [yang artinya], “Maha berbuat atas apa yang Dia kehendaki” [10]Jika
ketiga latihan tersebut dikerjakan apa lagi dengan bimbingan mursyid, mata hati
menjadi tajam dan mudah dalam menatap cahaya ILLahi.
5.
Penutup
Musyahadah adalah menatap cahaya
Illahi dengan mata hati. Agar dapat bermusyahadah, perlu dihindari perbuatan
yang berangkat dari nafsu dan syahwat yang dilandasi penyakit hati hubbud dunya
dan penyakit hati lainnya. Untuk bermusyahadah dibutuhkan latihan-latihan
seperti memandang diri sendiri, memandang sesuatu di luar diri sendiri, dan memandang manusia lain dengan serba-serbinya. Wallahu a’lam bish shawab.
[1]Syekh
Ibnu ‘Athaillah, “al Hikam”, Tuban:
al Balagh, t.t. hlm. 13-14
[2] Muhammad
Idris Abdul Rauf Marbawi, “Kamus Idris
Marbawi” , Semarang: Wannasyir t.t., hlam. 328
[3] K.H.
Haderani H.N., “Ilmu Ketuhanan 4 M”, Surabaya:
Nur Ilmu, t.t., hlm. 57
[4] Ibid,
hlm. 60
[5] Syekh
Abdul Qadir al Jaelani, “Lautan hakikat’ terj.,
Yogyakarta: Media Firdaus, 2010, hlm.61
[6] Q.S. An
Najm [53]: 11
[7]
K.H.Haderani H.N. op.cit, hlm. 60
[8]
K.H.Haderania H.N., op.cit., hlm. 69
[9] Q.S. Ash
Shafat: 96
[10] Q.S.Al
Buruj:16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar