MENGHADAPI
MUSIBAH
MUSIBAH
1.
Pendahuluan
Setiap menghadapi musibah, banyak di
antara muanusia yang bersikap dan bertindak melampoui batas kewajaran. Dari
sikap yang masih bisa ditolelir sampai dengan sikap yang tidak bisa ditulelir.
Sikap yang masih bisa ditolelir seperti sedih dalam menghadapi musibah baik
yang tertahan di dalam hati maupun yang diungkapkan dengan tangisan. Sikap yang
tidak bisa ditolelir seperti bunuh diri atau kembali menjadi kafir.[1]
Musibah pada hakikatnya bukan merupakan
sesuatu yang memberatkan manusia. Sakit tidak akan menyakiti manusia, hanya saja
manusia menyukai hidup sehat. Fakir (hidup serba kekurangan) tidak akan
menyakiti manusia, hanya saja manusia menyukai hidup kaya (serba kecukupan). Begitu pula
bodoh tidak akan menjadikan manusia menderita, hanya saja manusia menyukai
hidup pandai.[2]
Dari uraian tersebut, muncullah
persoalan apa itu musibah? Bagaimana menghadapi musibah dengan mengedepankan
akhlak yang baik kepada Allah SWT? Selanjutnya, dari dua masalah tersebut,
penulis memerikan pengertian musibah dan akhlak terpuji menghadapi musibah.
2.
Pengertian Musibah
Kata ‘musibah’ berasal dari kata
‘ashaaba’ yang berarti mengenai, membinasakan, dan menimpa.[3]Sedangkan
‘musibah’ merupakan bentuk isim faildari
ashaabayang berarti yang mengenai,
yang menimpa, dan yang membinasakan. Secara umum, ‘musibah’ diartikan
malapetaka, bencana, celaka, dan tulah.[4]
Bagi seorang muslim, musibah
merupakan bentuk ujian untuk meningkatkan grade
/kelas jika muslim itu lulus dari
ujian berupa akhlak terpuji di hadapan Allah SWT. Jika tidak lulus (berupa
perilaku yang tidak terpuji), muslim akan mengalami penurunan grade /kelas. Allah telah berfirman
(yang artinya), “Dan kami pasti akan
menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan sampaikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.”[5]Dalam
ayat tersebut, Allah telah menjelaskan dengan detail musibah apa saja yang akan
menimpa manusia. Musibah tersebut berupa rasa takut, paceklik,
kefakiran/kemiskinan, sakit/penyakit, kematian salah satu anggota keluarganya, dan
kekurangan hasil pertanian, mungkin karena diserang hama atau mingkin karena
pengaruh iklim.
Musibah merupakan takdir dan
ketentuan dari Allah SWT. Tiada sesuatu yang terjadi kecuali atas izin Allah.
Allah telah berfirman (yang artinya), “Tidak
ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah.” [6]Menghadapi
musibah berarti menghadapi ketentuan-Nya.
3.
Akhlak Terpuji Menghadapi Musibah
Karena musibah datang dari Allah, shahibul musibah harus tetap tunduk dan
patuh serta tetap beriman kepada-Nya
agar senantiasa mendapat petunjuk. Allah telah menyatakan bahwa barang siapa
yang beriman kepada-Nya, Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya barupa
ketenangan.[7]Shahibul musibah juga harus yakin bahwa
Allah menimpakan musibah pasti mengandung hikmah yang besar, tujuan yang
terpuji, dan mengandung kasih sayang.[8]
Apapun yang datang dari Allah
pasti mengandung kenikmatan sekalipun secara lahiriah terasa sebagai beban
berat. Oleh karena itulah, shahibul
musibah harus bersyukur kepada-Nya diawali dengan memuji-Nya dengan
mengucapkan alhamdulillahirabbil’alamiin dengan
tulus sebelum mengucapkan tarji’ (innaa
lillahi wainnaa ilaihio raaji’un). Bersyukur berarti sikap pribadi dari
hati yang tulus untuk berterima kasih kepada Allah yang meletakkan musibah.[9]
Seorang mukmin pasti yakin bahwa
musibah itu bentuk kasih sayang Allah. Apapun yang menimpanya pasti datang dari
kekasih sejatinya. Sikapnya yang terpuji adalah ridha menerimanya.[10]
Ridha berarti menerima musibah itu tanpa sedikit pun mengeluh kepada manusia
dan tiada tanda-tanda kesedihan pada lahir maupun batinnya. Ridha yang dalam Bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi ‘rela’ adalah menerima musibah dengan ikhlas hati.[11]Hatinya
merasa tenang dan tentram karena pada hahikatnya musibah itu membersihkan
manusia dari segala noda dan dosa yang melekat pada jiwa dan raganya.
Sikap terpuji yang palin tinggi
dalam menghadapi musibah adalah sabar. Sabar merupakan sikap kelanjutan dari
ridha. Sabar berarti tahan menghadapi cobaan, tahan menderita, tidak lekas
menyerah, tidak lekas marah, dan tidak putus asa serta tabah.[12]Sabar
adalah usaha tanpa lelah atau gigih yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya
sehingga mampu mengalahkan atau mengendalikan keingginan nafsu liarnya.[13]
Dengan kata lain, adalah kemampuan, keuletan, dan ketangguhan dalam mengatasi
masalah secara kreatif, progresif, dan sesuai dengan syariat agama.
Sikap sabar merupakan sikap
mengembalikan musibah kepada Allah karena dirinya adalah dari dan kembali
kepada Allah. Oleh karena itulah, Allah
dengan tegas menyampaikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.[14]
Hadiah yang dijanjikan-nya adalah ampunan, rahmat, dan hidayah. Hadiah lain
untuk shabirun adalah derajad tertinggi (dalam surga) dan penyambutan disertai
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalam surga.[15]
4. Penutup
Musibah merupakan takdir dan
ketentuan dari Allah. Setiap ketentuan dari Allah pasti mengandung hikmah dan
tujuan terpuji. Oleh karena itulah, seorang mukmin harus tetap beriman,
bersyukur, ridha, dan sabar di dalam menghadapi musibah agar mendapat ampunan,
rahmat, dan hidayah dari Allah.Wallahu
a’lam bish shawab.
[1] Q.S.al
Hajj: 18
[2] Muhammad
bin Shalih Utsaimin, “Makarimal Akhlaq” (Riyad: Madarul
Wathril Mubasyir,1427H) hlm.23-24
[3] Prof.Dr.H.Mahmud
Yunus, “Kamus Arab-Indonesia”
(Jakarta: Hidakarya Agung,1990) hlm. 223
[4] Tim
Ganeca sains Bandung,”Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia’ (Bandung: Penabur Ilmu,2008) hlm. 305
[5] Q.S. al
Baqarah: 155
[6] Q.S.At
Taghabun: 11
[7] Ibid
[8] Muhammad
bin Shalih al “utsaimin, op.cit. hlm.24
[9] Tim
Ganeca Sains Bandung, op. Cit.,hlm.456
[10]Ibid
[11] Tim
Ganeca Sains Bandung, op.cit. hlm. 381
[12] Tim
Ganeca Sains Bandung, op.cit. hlm. 393
[13] H.
Amirullah Syarbini dan Jumari Haryadi, “Dahsyatnya
Sabar, syukur, dan Ikhlas Nabi Muhammad SAW” (Bandung: Ruang Kata, 2010),
hlm.5
[14] Q.S.Al
Baqarah: 156-157
[15] Q.S.al
Furqan: 75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar