Menuju Kesempurnaan Iman
Oleh : K.H. Drs. Malikun, M.Pd.I.
(Pengasuh Ponpes Al Adzkar)
1.
Pendahuluan
Salah satu tanda iman yang sempurna
adalah dicintainya Allah SWT dan Rasulullah SAW melebihi cintainya kepada yang
lain. Cinta yang dalam bahasa Arab disebut mahabbahmerupakan
aspek penting dalam ibadah kepada-Nya di samping takut (khauf) dan berharap
(raja). Iman merupakan pondasi yang kokoh untuk menuju kesempurnaan ibadah.
Dua variabel, mahabbah dan iman,
merupakan proses penghambaan (ubudiyah) yang saling menguatkan dan saling
menyempurnakan. Mahabbah menjadikan mukmin merasakan nikmatnya iman, sedangkan
iman meningkatkan kualitas ibadah seorang mukmin yang di dalamnya terkandung hauf, raja, dan mahabbah.Dengan
demikian, kajian “Mahabbah: Menuju Kesempurnaan Iman” menjadi sangat penting
bagi perjalanan iman seorang mukmin agar tetap hidup lurus (istiqamah).
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, apa
hakikat mahabbatullah? Bagaimana ciri-ciri mahabbatullah? Bagaimana tingkatan
mahabbatullah? Dari ketiga pertanyaan tersebut, penulis memfokuskan kajian ini
dalam tiga poin, yaitu hakikat mahabbah, ciri-ciri mahabbah, dan tingkatan
mahabbah.
2.
Hakikat Mahabbatullah
Mahabbahadalah bentuk masdar (pembendaan) dari madhi (bentuk dasar) ‘habba’yang berarti mencintai atau
menyukai. Sedangkan mahabbah berarti
cinta atau kasih.[1]Dengan
demikian, mahabbatullah adalah perbuatan hati (‘amaliyah qalbiyah) yang berupa
cinta dan kasih kepada Allah SWT yang nampak dalam bentuk amal shalih.
Hakikat mahabbatullah adalah
tunduk dan patuh pada syariat (peraturan hidup) yang telah ditetapkan Allah
SWT. Dasar mahabbatullah adalah iman dalam hati seorang mukmin. Dalam hal ini,
Allah SWT telah berfirman, “Walladziina
aamanuu wattaba’athum dzurriyyatuhum bi imaanin...” (=Dan orang-orang yang
beriman dan anak keturunannya yang mengikutinya dengan iman).[2]
Hakikat mahabbatullah adalah
menjadikan Allah SWT sebagai tempat terbaik bagi pelabuhan cintanya dan bukan
kepada makhluk karena cinta kepada makhluk hanya cinta rendah yang diselimuti
syahwat. Allah SWT-lah tempat terbaik bagi kembalinya seorang mukmin, seperti
telah difirmankan, “Wallahu ‘indahu
husnul ma-aab” (=Dan di sisi Allah tempat kembali yang baik).[3]
Cinta kepada Allah berbeda jauh
dari cinta kepada makhluk. Syahwat memperkokoh cinta manusia kepada makhluk.
Sedangkan cinta kepada Allah diperkokoh dengan kepatuhan terhadap syariat.
Jadi, aplikasi cinta kepada Allah adalah iman yang kokoh dalam hari dan ditindaklanjuti
dengan melaksanakan semua syariat Allah SWT.
3.
Ciri-ciri Mahabbatullah
Seorang mukmin yang sangat
mencintai Allah SWT terlihat dengan ciri-ciri sebagai berikut: selalu
mengingat, memuji, ridha, jihad, takut, berharap, dan tunduk. Cinta seorang
mukmin kepada Tuhannya akan terasa getaran hatinya jika Allah SWT
disebut-sebut. Allah SWT telah menerangkan dalam al Quran, “Innamal mukminuunalladiina idzaa
dzukirullahu wajilat quluubuhum” (=Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah mereka yang jika disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya).[4]
Cinta kepada Allah nampak pada
kekaguman mukmin kepada Allah dalam setiap akhir perbuatan baiknya dengan
mengucapkan alhamdulillahirabbil’alamiin karena
hanya Allah-lah yang menciptakan perbuatan baik tersebut. Begitu pula, perasaan
ridhanya menerima apapun yang diberikan Allah mesipun pemberian Allah itu
sedikit, “Radhiyallahu ‘anhum waradhuu
‘anhu”(= Allah meridhai amal mukmin yang sedikit karena mereka ridha
terhadap pemberian Allah meski sedikit).[5]
Cinta kepada Allah diwujudkan dengan
semangat berjuang menegakkan dienullahdengan
jiwa,raga dan hartanya karena berharap ridha-Nya. Dalam setiap aktivitas
ibadahnya, muncul perasaan takut kepada Allah, takut akan azabnya (bila
syariat-Nya tidak ditaati), sekaligus berharap kelak bertemu Allah pada hari
kiamat kelak sehingga selalu rindu kepada-Nya. Kehidupannya dipenuhi kepatuhan
dan tunduk kepada semua ketentuan-Nya.
4.
Tingkatan Mahabbatullah
Cinta kepada Allah (mahabbatullah)
seorang mukmin memiliki tiga tingkatan, yaitu cinta kepada Allah dengan
menghambakan diri, mesra kepada Rasulullah SAW dan risalahnya, dan cinta serta
rindu kepada mukmin lain. Tingkatan tertinggi mahabbatullah adalah menghambakan
diri kepada Allah, menyembah-Nya, dan tidak pernah menyekutukan-Nya kepada
apapun atau siapapun karena keinginannya mendapatkan kedudukan yang tinggi di
sisi Allah sebagai muttaqun[6]
Tingkatan mahabatullah di
bawahnya adalah merindukan Rasulullah SAW, melaksanakan sunah-sunahnya, dan
istikomah pada risalah-risalahnya atau agama Islam. Cintanya kepada Allah akan
mendorong cinta kepada Rasulullah SAW karena Allah SWT sangat mencintai
Rasulullah. Bagitu pula cinta kepada Rasulullah akan dengan senang hati menegakkan
agama Islam.
Setelah mencinta Allah dan
Rasul-Nya, mukmin akan mencintai siapapun yang dicintai keduanya yaitu mukmin.
Oleh karena itu, antarmukmin seharusnya saling mencintai karena sama-sama
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
5.
Penutup
Akhirnya, mahabbatullah pada
hakikatnya aplikasi iman seseorang yang sedang berproses menuju
kesempurnaannya. Mahabbbatullah diwujudkan dengan menghambakan diri kepada
Allah, mencintai dan merindukan Rasulullah, dan mencintai mukmin yang lain.
Dengan mahabbatullah, kita
sempurnakan iman dan kita eratkan persaudaraan sesama mukmin sehingga rahmat
Allah akan senantiasa dipancarkan kepada kita sampai pada hari akhir. Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar