Senin, 06 Maret 2017

MENAATI ULIL AMRI

K.H. Drs. Malikun, M.Pd.I.
MENAATI ULIL AMRI :
Sebuah Tinjauan Fikh Kontemporer







           Sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki pemerintahan yang sah, kita memiliki kewajiban untuk menaatinya. Kewajiban ini disandarkan kepada dalil naqli yang berbunyi,”Yaa ayyuhalladziina aamanuu athi’ullaha wa athi’ur rasuula wa ulil amri minkum” (= Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian ) [1] Perintah taat kepada pemerintah yang sah dalam ayat tersebut menempati urutan ketiga setelah taat kepada Allah dan Rasul SAW.

            Namun, dalam kenyataannya, masih banyak yang meragukan apakah ulil amri termasuk pemerintah yang sah di Indonesia. Ada juga yang berpendapat bahwa ulil amri hanya berhenti pada zaman sahabat ( baca : khulafaur rasidin ). Pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri hanya ada dalam negara Islam. Lalu, siapa yang dimaksud dengan ulil amri? Apakah pemerintah Indonesia termasuk ulil amri? Lalu, bagaimana cara menaati ulil amri di Indonesia?

             Tulisan pendek ini akan membahasnya dari sisi Fikh Kontemporer. Cakupan bahasannya meliputi pengertian ulil amri, pemerintah dari sisi fikh, dan cara menaati ulil amri.

Siapakah Ulil Amri

              Ulil amri berarti pemegang hak memerintah, dalam artian memerintah dengan tujuan amar ma’ruh nahi munkar. Makna lain dari ulil amri adalah para penguasa negeri.[2] Abu Hurairah r.a. berpendapat bahwa ulil amri adalah para pemimpin atau pemerintah.[3]  Imam Safii juga berpendapat bahwa ulil amri adalah para pemimpin atau pemerintah.[4]

             Dalam wilayah negara, ulil amri adalah pemegang kekuasaan eksekutif, yang dalam hal ini adalah presiden. Dalam Munas Ulama tahun 1957 di Medan, disebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah penguasa pemerintah sementara ( Waliyyul amri lidharuri bisy syaukah )[5] Kata ‘sementara” berarti ada masa jabatannya.

             Di samping memegang kekuasaan eksekutif, ulil amri harus berkepribadian maksum ( menghindari salah dan dosa ), lapang dada, dan adil. Ciri kepribadian yang lainnya adalah bertindak berdasarkan Quran dan Sunah, penyayang, zuhud, tak pernah ragu, tak terpengaruh cemoohan, lebih dulu mendidik dirinya, tidak menjadi penjilat, tidak pernah memanfaatkan kedudukannya demi sesuatu yang tidak semestinya, tanggap terhadap berbagai pengaduan, sabar, yakin, bebas dari prasangka, sungguh hati, dan mengabaikan segala hal yang bersifat duniawi.[6]

            Dengan demikian, jelaslah bahwa ulil amri yang dimaksud dalam Quran adalah pemerintah yang sah yang dikomandani oleh presiden ( presiden dan kabinetnya ).
Pemerintah dari Sisi Fikh
              Dalam pandangan fikh, pemerintah disebut sebagai khilafah. Setelah Nabi SAW wafat, dipilihlah sebagai pengganti Beliau SAW secara berturut-turut Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abu Thalib. Mereka terkenal dengan sebutan ‘Khulafaur Rasyidin’. Pemerintahan yang dipimpinnya berdasarkan atas:

1.      Kejujuran dan keikhlasan serta tanggung jawab dalam menyampaikan amanah kepada rakyat dengan tidak membedakan bangsa dan warna kulit;
2.      Keadilan yang mutlak terhadap seluruh umat manusia dalam segala sesuatunya;
3.      Tauhid ( mengesakan Allah ) sebagaimana diperintahkan dalam ayat-ayat al Quran supaya menaati Allah dan Rasul-Nya;
4.      Kedaulatan rakyat yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri.[7]

            Fikh mensyaratkan ulil amri atau pemerintah dengan beberapa kompetensi seperti cendikia, cerdik pandai, dan pilihan rakyat. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengambil segala kebijakan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keutuhan wilayah, dan tegaknya Islam.[8]

             Imam Ali menambahkan syarat- syarat pemerintah yang wajib ditaati oleh rakyat sebagai berikut:
1.      Menegakkan cintah dan kasih sayang;
2.      Melindungi agama dari ancaman penyimpangan;
3.      Kebatilan harus dilenyapkan dalam segala bidang kehidupan;
4.      Jalan agama menjadi terang dan jelas;
5.      Keadilan mengakar kuat;
6.      Semua kabinet berfungsi sebagaimana mestinya;
7.      Ada hubungan timbal balik dan saling percaya antara pemerintah dan rakyat.[9]

Bagaimana menaati Ulil Amri?

              Sebagaimana diuraikan di atas bahwa menaati ulil amri wajib hukumnya. Kewajiban tersebut disyaratkan selama bukan dalam rangka maksiat.[10] Dengan demikian, apa pun yang menjadi kebijakannya, sebagai orang yang beriman, kita wajib mengikutinya sepanjang untuk kesejahteraan rakyat, keutuhan wilayah, tegaknya agama, dan bukan perbuatan maksiat.

              Dalam perjalanan pemerintahannya, jika mereka berbuat penyimpangan, wajib bagi para ulama menasihati mereka tanpa menyebarkan aib-aibnya di depan publik. Tentunya, dengan cara bilhikmati wamauizhatil hasanah ( dengan hikmah dan nasihat yang baik ).[11] Jika mereka berbuat zalim kepada rakyatnya, masih ada kewajiban untuk sabar menghadapi kezalimannya.[12] Haram hukumnya memerangi mereka selagi mereka masih mendirikan shalat.[13]

             Penguasa dihukumi sebagai thaghut yang harus diperangi jika berbuat tiga hal yang tersebut sebagai berikut:

1.      Mereka meyakini bahwa berhukum selain hukum Allah ( yang bertentangan dengan hukum Allah ) itu boleh,seperti menghukumi zina sebagai hal yang halal;
2.      Mereka meyakini hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah;
3.      Mereka meyakini bahwa hukum selain Allah lebih bagus dari pada hukum Allah.[14]

              Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia/pemegang kekuasaan eksekutif yang dikomandani presiden dan jajarannya adalah ulil amri yang tersebut di dalam al Quran. Menaati mereka adalah wajib hukumnya selagi bukan dalam rangka maksiat. Dalam hal menaati mereka ada berbagai cara, seperti patuh dan tunduk pada produk hukum-hukumnya selagi tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, sabar menghadapi kezalimannya, tidak memerangi selagi mereka masih menegakkan shalat, dan bagi ulama wajib menasihati mereka dengan cara elegan dan tutur kata yang baik.Wallahu a’lam bish shawab.




[1] Q.S. an Nisa [4] : 59
[2] Kitab Tafsirul Quranil Azhiim lil imamil jalalain hal. 79
[3] Hadits Riwayat Ibnu Jariri ath Thabrani
[4] Kitab Fath al Bari [8]: 106
[5] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita ( Jakarta: The Wahid Institute, 2006 ) hal. 96
[6] Muhsin Qiraati, Ushuluddin ( Jakarta Selatan: Cahaya,2007 ) hal. 387-392
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru, 1993 ) hlm. 496
[8] Ibid, hlm 497
[9] Muhsin Qiraati, op.cit. hlm. 419
[10] Syarah Muslim [6]: 106
[11] Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Abu ‘Ashim
[12] Syarah Muslim  [6]: 480
[13] Ibid,hal. 485
[14] http: // abu mushlih.com diunduh tanggal 2 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...