Sebuah Tinjauan Fikh
Kontemporer
Sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki
pemerintahan yang sah, kita memiliki kewajiban untuk menaatinya. Kewajiban ini
disandarkan kepada dalil naqli yang berbunyi,”Yaa ayyuhalladziina aamanuu athi’ullaha wa athi’ur rasuula wa ulil amri
minkum” (= Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
ulil amri di antara kalian ) [1]
Perintah taat kepada pemerintah yang sah dalam ayat tersebut menempati
urutan ketiga setelah taat kepada Allah dan Rasul SAW.
Namun, dalam kenyataannya, masih banyak yang meragukan apakah ulil amri
termasuk pemerintah yang sah di Indonesia. Ada juga yang berpendapat bahwa ulil
amri hanya berhenti pada zaman sahabat ( baca : khulafaur rasidin ). Pendapat
lain mengatakan bahwa ulil amri hanya ada dalam negara Islam. Lalu, siapa yang
dimaksud dengan ulil amri? Apakah pemerintah Indonesia termasuk ulil
amri? Lalu, bagaimana cara menaati ulil amri di Indonesia?
Tulisan pendek ini akan membahasnya dari sisi Fikh Kontemporer. Cakupan
bahasannya meliputi pengertian ulil amri, pemerintah dari sisi fikh, dan cara
menaati ulil amri.
Siapakah Ulil Amri
Ulil amri berarti pemegang hak memerintah,
dalam artian memerintah dengan tujuan amar
ma’ruh nahi munkar. Makna lain dari ulil amri adalah para penguasa negeri.[2]
Abu Hurairah r.a. berpendapat bahwa ulil amri adalah para pemimpin atau
pemerintah.[3] Imam Safii juga berpendapat bahwa ulil amri
adalah para pemimpin atau pemerintah.[4]
Dalam wilayah negara, ulil amri adalah
pemegang kekuasaan eksekutif, yang dalam hal ini adalah presiden. Dalam Munas
Ulama tahun 1957 di Medan, disebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah
penguasa pemerintah sementara ( Waliyyul
amri lidharuri bisy syaukah )[5]
Kata ‘sementara” berarti ada masa jabatannya.
Di
samping memegang kekuasaan eksekutif, ulil amri harus berkepribadian maksum (
menghindari salah dan dosa ), lapang dada, dan adil. Ciri kepribadian yang
lainnya adalah bertindak berdasarkan Quran dan Sunah, penyayang, zuhud, tak
pernah ragu, tak terpengaruh cemoohan, lebih dulu mendidik dirinya, tidak
menjadi penjilat, tidak pernah memanfaatkan kedudukannya demi sesuatu yang
tidak semestinya, tanggap terhadap berbagai pengaduan, sabar, yakin, bebas dari
prasangka, sungguh hati, dan mengabaikan segala hal yang bersifat duniawi.[6]
Dengan demikian, jelaslah bahwa ulil amri yang dimaksud dalam Quran
adalah pemerintah yang sah yang dikomandani oleh presiden ( presiden dan kabinetnya
).
Pemerintah
dari Sisi Fikh
Dalam pandangan fikh, pemerintah disebut sebagai khilafah. Setelah Nabi
SAW wafat, dipilihlah sebagai pengganti Beliau SAW secara berturut-turut Abu
Bakar Sidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abu Thalib. Mereka
terkenal dengan sebutan ‘Khulafaur Rasyidin’. Pemerintahan yang dipimpinnya
berdasarkan atas:
1.
Kejujuran
dan keikhlasan serta tanggung jawab dalam menyampaikan amanah kepada rakyat
dengan tidak membedakan bangsa dan warna kulit;
2.
Keadilan
yang mutlak terhadap seluruh umat manusia dalam segala sesuatunya;
3.
Tauhid
( mengesakan Allah ) sebagaimana diperintahkan dalam ayat-ayat al Quran supaya
menaati Allah dan Rasul-Nya;
4.
Kedaulatan
rakyat yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada
ulil amri.[7]
Fikh
mensyaratkan ulil amri atau pemerintah dengan beberapa kompetensi seperti
cendikia, cerdik pandai, dan pilihan rakyat. Dalam hal ini, pemerintah memiliki
kewenangan untuk mengambil segala kebijakan yang menyangkut kesejahteraan
rakyat, keutuhan wilayah, dan tegaknya Islam.[8]
Imam Ali menambahkan syarat- syarat pemerintah yang wajib ditaati oleh
rakyat sebagai berikut:
1.
Menegakkan
cintah dan kasih sayang;
2.
Melindungi
agama dari ancaman penyimpangan;
3.
Kebatilan
harus dilenyapkan dalam segala bidang kehidupan;
4.
Jalan
agama menjadi terang dan jelas;
5.
Keadilan
mengakar kuat;
6.
Semua
kabinet berfungsi sebagaimana mestinya;
7.
Ada
hubungan timbal balik dan saling percaya antara pemerintah dan rakyat.[9]
Bagaimana menaati Ulil Amri?
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa menaati ulil amri wajib hukumnya.
Kewajiban tersebut disyaratkan selama bukan dalam rangka maksiat.[10]
Dengan demikian, apa pun yang menjadi kebijakannya, sebagai orang yang beriman,
kita wajib mengikutinya sepanjang untuk kesejahteraan rakyat, keutuhan wilayah,
tegaknya agama, dan bukan perbuatan maksiat.
Dalam perjalanan pemerintahannya, jika mereka berbuat penyimpangan,
wajib bagi para ulama menasihati mereka tanpa menyebarkan aib-aibnya di depan
publik. Tentunya, dengan cara bilhikmati
wamauizhatil hasanah ( dengan hikmah dan nasihat yang baik ).[11]
Jika mereka berbuat zalim kepada rakyatnya, masih ada kewajiban untuk sabar
menghadapi kezalimannya.[12]
Haram hukumnya memerangi mereka selagi mereka masih mendirikan shalat.[13]
Penguasa dihukumi sebagai thaghut yang harus diperangi jika berbuat tiga
hal yang tersebut sebagai berikut:
1.
Mereka
meyakini bahwa berhukum selain hukum Allah ( yang bertentangan dengan hukum
Allah ) itu boleh,seperti menghukumi zina sebagai hal yang halal;
2.
Mereka
meyakini hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah;
3.
Mereka
meyakini bahwa hukum selain Allah lebih bagus dari pada hukum Allah.[14]
Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa pemerintah
Indonesia/pemegang kekuasaan eksekutif yang dikomandani presiden dan jajarannya
adalah ulil amri yang tersebut di dalam al Quran. Menaati mereka adalah wajib
hukumnya selagi bukan dalam rangka maksiat. Dalam hal menaati mereka ada berbagai
cara, seperti patuh dan tunduk pada produk hukum-hukumnya selagi tidak
bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, sabar menghadapi kezalimannya,
tidak memerangi selagi mereka masih menegakkan shalat, dan bagi ulama wajib
menasihati mereka dengan cara elegan dan tutur kata yang baik.Wallahu a’lam bish shawab.
[1]
Q.S. an Nisa [4] : 59
[2]
Kitab Tafsirul Quranil Azhiim lil imamil
jalalain hal. 79
[3]
Hadits Riwayat Ibnu Jariri ath Thabrani
[4]
Kitab Fath al Bari [8]: 106
[5]
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda
Islam Kita ( Jakarta: The Wahid Institute, 2006 ) hal. 96
[6]
Muhsin Qiraati, Ushuluddin ( Jakarta
Selatan: Cahaya,2007 ) hal. 387-392
[7]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (
Bandung: Sinar Baru, 1993 ) hlm. 496
[8]
Ibid, hlm 497
[9]
Muhsin Qiraati, op.cit. hlm. 419
[10] Syarah Muslim [6]: 106
[11]
Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Abu ‘Ashim
[12] Syarah Muslim [6]: 480
[13]
Ibid,hal. 485
[14]
http: // abu mushlih.com diunduh tanggal 2 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar