Minggu, 18 Februari 2018

Mengukur Kualitas Iman Kita


Mengukur Kualitas Iman kita
Oleh : Abah Malikun

1. Pendahuluan
              Suatu bangunan pasti memiliki pondasi. Kuat tidaknya bangunan tersebut tergantung kuat tidak pondasinya. Semakin kuat pondasinya, semakin kuat pula bangunannya.
             Islam sebagai agama yang paling sempurna tentu dibangun dari seluruh komponen yang yang sempurna pula. Ibarat bangunan, Islam memiliki iman sebagai pondasi, syariat sebagai bangunan yang tiangnya adalah shalat, dan akhlak serta tasawuf sebagai hisannya. Jika menginginkan Islam sebagai agama yang mampu menjadikan kita manusia bergengsi (ahsan taqwim/insan kamil). Kita harus memperkokoh iman, menyempurnakan pelaksanaan syariat, dan selalu memperbaiki akhlak.
            Dalam tulisan ini, penulis sedikit mengulas kualitas iman kita dengan mengukur ‘kedalamannya’ dengan memulai pembahasan apa itu iman? Bagaimana tingkatan iman? Bagaimana halnya dengan keimanan kita? Dari pertanyaan tersebut penulis memerinci dengan term-term yaitu pengertian iman, tingkatan iman, dan mengukur iman kita.
2. Pengertian Iman
            Iman adalah rasa percaya dan keyakinan hati terhadap wujud dan kebenaran (haq) serta eksisitensinya suatu Dzat yaitu Alah SWT. Keimanan ini tidak hanya sebatas mempercayai dan menyakini adanya dzat Allah saja, tetapi mempercayai dan meyakini tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan Allah itu sendiri.[1] Misalnya tentang keberadaan Malaikat, tentang firman-firman yang diturunkan melalui wahyu kepada para Rasul, yang sudah terhimpun dalam kitab, tentang para Rasul atau orang-orang yang diutus untuk menyampaikan firman-firman yang telah turun kepada sekelompok kaum, tentang kebenaran akan datangnya hari kiamat atau hari penghisaban, yang terakhir tentang ketentuan dan ketetapan Allah yang dinamakan takdir.
            Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran akan eksistensi objek yang kita imani berikut seluk beluk tentang objek tersebut. Iman kepada Allah mestinya diwujudkan dengan kesadaran bahwa Allah SWT memiliki sifat wajib, mustahil, jaiz, dan asmaul husnah. Hal tersebut memerlukan pemahaman yang luas dan dalam tentang tauhid. Sebagai contoh Allah itu ada dan adanya tidak perlu diragukan lagi karena adanya penciptaan langit dan bumi serta isi keduanya, yang tidak mungkin dikerjakan kecuali Allah SWT. Contoh lain seperti penglihatan mata hati kita terhadap Allah SWT, jelas sekali bahwa hati yang memiliki iman akan mampu menatap Allah melalui perbuatan makhluknya. Bukankah makhluk dengan semua amalnya hanya Allah SWT yang menciptakan?
             Iman adalah hidayah dari Allah SWT yang berupa cahaya yang selalu menyinari jiwa dan raga kita sehingga akan bersinergi dalam mewujudkan amal yang baik. Beberapa ayat Quran menggabungkan iman dengan amal baik dengan sebutan ‘aamanuu wa’amilush shaalihaat”. Jelaslah bahwa iman akan terlihat ke permukaan berupa amal shalih.
3. Tingkatan Iman
            Dalam pelaksanaannya, iman itu memiliki empat tingkatan.[2] Tingkatan yang paling rendah adalah imannya orang munafik. Orang munafik lisannya menyatakan iman sedangkan hatinya mengingkarinya. Iman tersebut hanya bermanfaat di dunia yaitu dengan terpeliharanya darah dan harta mereka. Sedang di akhirat, iman mereka tidak ada manfaatnya sama sekali karena mereka tetap saja kekal di neraka. Hal tersebut dinyatakan dalam Alquran, “Innal munafiqiina fii darkil asfali minanaari” (= Sesungguhnya orang-orang munafik berada di tangga yang paling bawah dari neraka).
             Tingkatan kedua adalah imannya orang muslim kebanyakan. Lisan dan hatinya menyatakan iman, tetapi sering berbuat maksiat, seperti tidak menepati hukum-hukum Allah, belum menampakkan buah yakin, meninggalkan Allah, takut dan berharap kepada selain-Nya, serta mengingkari perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
              Ketiganya adalah imannya orang muqarabin yaitu merasa sadar bahwa Allah SWT selalu menatap dirinya sehingga malu berbuat maksiat. Mereka sadar betul bahwa Allah selalu hadir di dalam hidupnya. Mereka seakan-akan menatap Allah setiap saat. Dalam tingkatan ini, buah yakin sudah nampak jelas. Mereka tidak bergantung kepada selain Allah, tidak takut dan berharap kepada selain Allah, Mereka menyadari bahwa makhluk tidak bisa memberi manfaat atau madharat sama sekali kepada mereka, tidak bisa menghidupkan dan mematikan mereka, serta membangkitkannya. Mereka tidak mencintai kecuali kepada Allah karena sesungguhnya selain-Nya tidak ada kebaikannya sama sekali.
             Tingkatan yang paling tinggi adalah imannya ahli fana yaitu mengosongkan dirinya dari semua makhluk, yang ada hanya dirinya dan Allah SWT. Mereka berkata, “Nazhartu Rabbii bi’ani qalbii laa sakka anta anta” (= Aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku, tiada keraguan dari Engkau, Engkau).
4. Mengukur Iman Kita
              Iman pada hakikatnya adalah lebih utama-utamanya nikmat. Jika Allah meletakkan iman dalam hati kita, Dia sedang memuliakan dan mencintai kita. Allah membenci kekufuran yang ada dalam diri kita. Begitu pula kefasikan dan kemaksiatan yang sering kita lakukan sangat dibenci oleh-Nya.
              Lalu, di mana letak iman kita? Jika lisannya mengaku beriman sedangkan hati mengingkarinya, kita berada pada tingkatan yang paling rendah sekelas munafikun, di dunia selamat sedang di akhirat menempati neraka yang paling bawah dengan kekal. Jika lisan dan hati beriman, tetapi sering bermaksiat kita berarti berada di tingkatan kedua. Di dunia selamat tetapi di akhirat kita harus menyelesaikan azab sebesar dan sesering maksiat yang kita kerjakan. Pada akhirnya, kita bisa masuk surga sesudah merasakan azab di neraka.
             Jika iman bisa benar-benar menyinari hidup kita sehingga kita bisa menjaga diri dari berbuat maksiat, berarti iman kita pada tingkatan ketiga bersama-sama golongan muqarabin. Jika kita merasa asyik dengan Sang Khaliq setiap saat, bermesraan  iman kita sudah mencapai level tertinggi sekelas para nabi dan rasul, para wali Allah, shadiqin, syuhada, dan shalihin.
5. Penutup
            Akhirnya, kita bisa berkesimpulan bahwa iman adalah cahaya pemberian Allah sebagai nikmat yang paling utama untuk menuntun hidup kita. Besar kecil cahaya yang kita nyalakan akan berpengaruh kepada kualitas hidup kita sebagai hamba Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.
          


[1] Diunduh dari gusharton.wordpress.com/2010/03/05 pada 24 Januari 2018
[2] Kitab Tanwirul Qulub halaman  83-85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...