Mengukur Kualitas Iman kita
Oleh : Abah Malikun
1. Pendahuluan
Suatu
bangunan pasti memiliki pondasi. Kuat tidaknya bangunan tersebut tergantung
kuat tidak pondasinya. Semakin kuat pondasinya, semakin kuat pula bangunannya.
Islam sebagai agama yang paling sempurna tentu dibangun dari seluruh
komponen yang yang sempurna pula. Ibarat bangunan, Islam memiliki iman sebagai
pondasi, syariat sebagai bangunan yang tiangnya adalah shalat, dan akhlak serta
tasawuf sebagai hisannya. Jika menginginkan Islam sebagai agama yang mampu
menjadikan kita manusia bergengsi (ahsan taqwim/insan kamil). Kita harus
memperkokoh iman, menyempurnakan pelaksanaan syariat, dan selalu memperbaiki
akhlak.
Dalam tulisan ini, penulis sedikit mengulas kualitas iman kita dengan
mengukur ‘kedalamannya’ dengan memulai pembahasan apa itu iman? Bagaimana
tingkatan iman? Bagaimana halnya dengan keimanan kita? Dari pertanyaan tersebut
penulis memerinci dengan term-term yaitu pengertian iman, tingkatan iman, dan
mengukur iman kita.
2. Pengertian
Iman
Iman adalah rasa percaya dan keyakinan hati terhadap wujud dan kebenaran
(haq) serta eksisitensinya suatu Dzat yaitu Alah SWT. Keimanan ini tidak hanya sebatas
mempercayai dan menyakini adanya dzat Allah saja, tetapi mempercayai dan
meyakini tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan Allah itu
sendiri.[1] Misalnya tentang keberadaan Malaikat, tentang firman-firman yang diturunkan
melalui wahyu kepada para Rasul, yang sudah terhimpun dalam kitab, tentang para
Rasul atau orang-orang yang diutus untuk menyampaikan firman-firman yang telah
turun kepada sekelompok kaum, tentang kebenaran akan datangnya hari kiamat atau
hari penghisaban, yang terakhir tentang ketentuan dan ketetapan Allah yang
dinamakan takdir.
Secara sederhana, iman dapat
didefinisikan sebagai sebuah kesadaran akan eksistensi objek yang kita imani
berikut seluk beluk tentang objek tersebut. Iman kepada Allah mestinya
diwujudkan dengan kesadaran bahwa Allah SWT memiliki sifat wajib, mustahil,
jaiz, dan asmaul husnah. Hal tersebut memerlukan pemahaman yang luas dan dalam
tentang tauhid. Sebagai contoh Allah itu ada dan adanya tidak perlu diragukan
lagi karena adanya penciptaan langit dan bumi serta isi keduanya, yang tidak
mungkin dikerjakan kecuali Allah SWT. Contoh lain seperti penglihatan mata hati
kita terhadap Allah SWT, jelas sekali bahwa hati yang memiliki iman akan mampu
menatap Allah melalui perbuatan makhluknya. Bukankah makhluk dengan semua
amalnya hanya Allah SWT yang menciptakan?
Iman adalah hidayah dari Allah SWT
yang berupa cahaya yang selalu menyinari jiwa dan raga kita sehingga akan
bersinergi dalam mewujudkan amal yang baik. Beberapa ayat Quran menggabungkan
iman dengan amal baik dengan sebutan ‘aamanuu wa’amilush shaalihaat”. Jelaslah
bahwa iman akan terlihat ke permukaan berupa amal shalih.
3. Tingkatan Iman
Dalam pelaksanaannya, iman itu memiliki empat tingkatan.[2] Tingkatan yang paling
rendah adalah imannya orang munafik. Orang munafik lisannya menyatakan iman
sedangkan hatinya mengingkarinya. Iman tersebut hanya bermanfaat di dunia
yaitu dengan terpeliharanya darah dan harta mereka. Sedang di akhirat, iman
mereka tidak ada manfaatnya sama sekali karena mereka tetap saja kekal di
neraka. Hal tersebut dinyatakan dalam Alquran, “Innal munafiqiina fii darkil
asfali minanaari” (= Sesungguhnya orang-orang munafik berada di tangga yang
paling bawah dari neraka).
Tingkatan kedua adalah imannya orang muslim kebanyakan. Lisan dan
hatinya menyatakan iman, tetapi sering berbuat maksiat, seperti tidak menepati hukum-hukum Allah, belum menampakkan buah yakin,
meninggalkan Allah, takut dan berharap kepada selain-Nya, serta mengingkari
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Ketiganya adalah
imannya orang muqarabin yaitu merasa sadar bahwa Allah SWT selalu menatap
dirinya sehingga malu berbuat maksiat. Mereka sadar betul bahwa Allah selalu
hadir di dalam hidupnya. Mereka seakan-akan menatap Allah setiap saat. Dalam
tingkatan ini, buah yakin sudah nampak jelas. Mereka tidak bergantung kepada
selain Allah, tidak takut dan berharap kepada selain Allah, Mereka menyadari
bahwa makhluk tidak bisa memberi manfaat atau madharat sama sekali kepada
mereka, tidak bisa menghidupkan dan mematikan mereka, serta membangkitkannya. Mereka
tidak mencintai kecuali kepada Allah karena sesungguhnya selain-Nya tidak ada
kebaikannya sama sekali.
Tingkatan yang paling
tinggi adalah imannya ahli fana yaitu mengosongkan dirinya dari semua makhluk,
yang ada hanya dirinya dan Allah SWT. Mereka berkata, “Nazhartu Rabbii
bi’ani qalbii laa sakka anta anta” (= Aku melihat Tuhanku dengan mata
hatiku, tiada keraguan dari Engkau, Engkau).
4. Mengukur Iman
Kita
Iman pada hakikatnya adalah lebih utama-utamanya nikmat. Jika Allah
meletakkan iman dalam hati kita, Dia sedang memuliakan dan mencintai kita.
Allah membenci kekufuran yang ada dalam diri kita. Begitu pula kefasikan dan
kemaksiatan yang sering kita lakukan sangat dibenci oleh-Nya.
Lalu, di mana letak iman kita? Jika lisannya mengaku beriman sedangkan
hati mengingkarinya, kita berada pada tingkatan yang paling rendah sekelas
munafikun, di dunia selamat sedang di akhirat menempati neraka yang paling
bawah dengan kekal. Jika lisan dan hati beriman, tetapi sering bermaksiat kita
berarti berada di tingkatan kedua. Di dunia selamat tetapi di akhirat kita
harus menyelesaikan azab sebesar dan sesering maksiat yang kita kerjakan. Pada
akhirnya, kita bisa masuk surga sesudah merasakan azab di neraka.
Jika iman bisa benar-benar
menyinari hidup kita sehingga kita bisa menjaga diri dari berbuat maksiat,
berarti iman kita pada tingkatan ketiga bersama-sama golongan muqarabin. Jika
kita merasa asyik dengan Sang Khaliq setiap saat, bermesraan iman kita sudah mencapai level tertinggi
sekelas para nabi dan rasul, para wali Allah, shadiqin, syuhada, dan shalihin.
5. Penutup
Akhirnya, kita bisa berkesimpulan bahwa iman
adalah cahaya pemberian Allah sebagai nikmat yang paling utama untuk menuntun
hidup kita. Besar kecil cahaya yang kita nyalakan akan berpengaruh kepada
kualitas hidup kita sebagai hamba Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar