MA’RIFATUR
RASUL
MENUJU KESEMPURNAAN IMAN
1.
Pendahuluan
Bermusyahadah kepada Rasulullah
pada hakikatnya tidak hanya sekedar kita bersaksi atau mengakui bahwa Sayyid
Muhammad bin Sayyid Abdullah adalah hamba dan utusan Allah. Namun, syahadah kita
harus didahului dengan keyakinan mendalam dengan didasari dalil aqliyyah maupun
naqliyyah. Berikutnya, kita harus mampu menghadirkan pribadi Beliau SAW setiap
saat agar bisa bertutur kata, bersikap, dan bertindak sesuai dengan
keteladanannya.
Iman kepada Beliau SAW harus dimulai dari
hati berupa i’tiqat, diucapkan dengan lisan melalui syahadat, dan diikuti
dengan i’tiba’ kepadanya. Syahadat sudah dilaksanakan ketika kita menyatakan
diri sebagai seorang muslim. Pada saat itu pula, kita berkeyakinan terhadap
kerasulannya. Keyakinan tidak akan sempurna tanpa diikuti dengan meneladaninya.
Lalu, siapa sebenarnya sosok
Beliau SAW? Bagaimana cara kita mewujudkan ma’rifat kita kepadanya agar iman
menjadi sempurna? Kedua pertanyaan tersebut menjadi pijakan penulis memulai
kajian dengan term ma’rifatur rasul dan melengkapinya dengan term kaifiyah menyempurnakan
iman kepadanya.
2.
Makrifatur
Rasul SAW
Ma’rifat berasal dari ‘arafa (mengetahui)-ya’rifu
(mengetahui)-ma’rifatun (pengetahuan).[1]
Sedang ma’rifatur rasul merupakan tarkib idhafat yang bermakna
‘tentang’. Dengan demikian, ma’rifatur rasul dapat diartikan pengetahuan
tentang Rasul SAW.
Nabi Muhammad SAW manusia seperti
kita yang diberi Allah keutamaan melebihi yang lain. Allah SWT telah berfirman,
“Annabiyyu aulaa bilmukminiina min anfusihim” (= Nabi SAW adalah
seutama-utamanya orang-orang yang beriman dari golongan mereka).[2]
Oleh karena itulah, sebutan untuk Beliau SAW sebagai ‘Sayyidul Anbiyya-a wal
Mursalin’ (=pemimpin para nabi dan rasul) tidak mungkin kita ingkari.
Keutamaan Beliau SAW terletak pada
akhlakul karimah atau budi pekertinya. Beliau SAW sejak mudanya sudah
terkenal dengan kejujurannya sehingga dipercaya konglomerat wanita terkaya di
Mekah, Sayyidah Hadijah, membawa barang dagannya ke Syam.[3]
Imam Abdur Rahman Addiba’i bercerita bahwa Beliau SAW adalah sebaik-baik
manusia dalam kejadian dan budi pekertinya, wakaana SAW ahsanan naasi
khalqan wakhuluqan.[4]
Allah menyatakan, “Innaka la’alaa khuluuqin azhim”
(=Sesungguhnya engkau sungguh di atas budi pekerti yang agung).[5]
Beliau SAW sendiri juga menyatakan, “Ana akramul awwaliina wal akhiriina
‘alaa Allah walaa fakhra’ (= Saya semulia-mulia generasi awal dan akhir
menurut Allah dan tanpa angkuh).[6]
Kerasulan Beliau SAW bersifat
universal, menjangkau seluruh alam, bukan hanya untuk gololongan atau suku
tertentu seperti nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu. Kehadirannya di muka bumi
untuk menebarkan kedamaian dan ketentraman, tidak saja bagi alam manusia tetapi
alam lain seperti hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Allah SWT telah berfirman, “Wamaa
arsalnaaka illaa rahmatan lil’alamiina” (=Dan tidaklah Kami mengutusmu
[Muhammad] kecuali merupakan rahmat [kasih sayang] bagi seluruh alam).[7]
Pada hakikatnya, asma dan sifat
Beliau SAW sudah tertulis dllam kitab-kitab suci sebelum Alquran. Dalam kitab
Taurat, misalnya, disebutkan bahwa akan datang Nabi SAW pada akhir zaman yang
dilahirkan di Mekah, kelak akan hijrah ke Madinah, dan kerajaannya di Syam.
Disebutkan pula bahwa Beliau SAW selalu memotong rambutnya di tengah-tengah
(tidak panjang dan tidak pula pendek), kelak akan menjadi pemimpin para nabi,
dan umatnya adalah sebaik-baik umat karena bertakbir kepada Allah melalui
shalat yang barisannya rapat dan rata seperti barisan pasukan di medan perang.[8]
3.
Kaifiyah
Menyempurnakan Iman kepada Beliau SAW
Sebagai seorang mukmin wajib
hukumnya menyempurnakan iman kepadanya, Bagaimana caranya? Pertama,
meneladani Beliau SAW karena kesempurnaan pribadinya, dan paling lengkap
amalnya untuk ditiru oleh siapa saja yang yakin akan kembali kepada Allah dan
hari akhir serta banyak berzikir kepada-Nya. Allah SWT telah berfirman, “Laqad
kaana lakum fii Rasuulillah uswatun hasanatun liman kaana yarjuullahal yaumal
aakhira wadzakarallaha katsiiran” (-Demi sungguh adanya untuk kalian pada
diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi siapa saja yang berharap akan
kembali kepada Allah dan hari akhir serta berzikir kepada Allah yang banyak).[9]
Kaifiyah kedua adalah
memanggil Beliau SAW dengan panggilan yang baik dan memuliakan serta
menghormatinya. Dalam shalawat misalnya, kita menyebut Allahumma shalli
wasallim ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa’alaa aali sayyidinaa
Muhammad. Kata ‘sayyidinaa’ yang berarti tuan kami sama seperti pada saat
kita memanggil orang yang lebih tua dengan kata ‘bapak’ atau ‘mister’. Allah telah
menegaskan, “Laa taj’aluu du’aa-ar rasuuli bainakum kadu’aa-i ba’dhikum
ba’dhan” (=Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul SAW di antara kalian
seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain).[10]
Ketiga adalah memperbanyak membaca shalawat dan salam kepada
Beliau SAW seperti: “Allahumma
shalli wasallim ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad”. (=
Ya Allah berilah rahmat dan keselamatan kepada tuan kami Muhammad serta
keluarga tuan kami Muhammad). Allah telah berfirman, “Innallaha wal
malaa-ikatahu yushalluuna ‘alan Nabii, yaa ayyuhal ladziina aamanuu shalluu ‘alaihi
wasallimuu taslimaa” (= Sesungguhnya Allah dan para malaikbat-Nya
bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalatlah kepadanya
dan bersalamlah dengan salam yang sempurna).[11]
4.
Penutup
Akhirnya, kita harus yakin bahwa
nabi kita, Nabi Muhammad SAW, memiliki kesempurnaan jiwa-raga di atas manusia
lain bahkan di atas para nabi dan rasul yang lain untuk menjalankan tugasnya
sebagai nabi dan rasul pada akhir zaman guna menjadi rahmat bagi seluh alam.
Agar mencapai iman yang sempurna, kita harus meneladani Beliau SAW,
memanggilnya dengan panggilan yang mulia, dan senantiasa memperbanyak membaca
shalawat dan salam kepadanya. Wallahu a’lam bish shawaab.
[1] Kamus al Bisri hlm. 491-493
[2] Q.S. Alahzab:6
[3] Kitab Khalashatu Nuril Yaqin hlm. 10-11
[4] Kitab Majmu’atul Mawaalidi hlm. 28
[5] Q.S. Alqalam: 4
[6] Kitab Tanwirul Quluub hlm. 34
[7] Q.S. Alanbiyyaa: 107
[8] Hadits riwayat Athak bin Yasar dari Ka’ab Alakhbar dalam kitab Majmu’atul
Mawalidi hlm. 16-17
[9] Q.S.Alahzab: 21
[10] Q.S.Annur: 63
[11] Q.S. Alahzab: 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar