MENCITA-CITAKAN KHUSNUL KHATIMAH
Oleh : Abah Malikun
1.
Pendahuluan
Dalam sebuah puji-pujian yang sering
dikumandangkan di masjid atau mushala menjelang iqamat, kita mendengar sebait
syair,
Ya Allah kulo nyuwun gesang kulo
istiqamah
Ya Allah kulo nyuwun pejah kulo husnulkhatimah
Begitu pula dengan doa
yang sering kita panjatkan, “Allahummakhtim
lanaa bihusnilkhatima walaa tahtim lanaa bisuuilkhatimah (= Ya Allah akhiri
kami dengan akhir yang baik dan jangan Engkau ahkiri kami dengan akhir yang
buruk)”. Puji-pujian dan doa tersebut jelas sekali mangandung cita-cita dan
harapan agar hidup kita berlangsung dengan istiqamah
(ajeg/lurus) dan berakhir dengan husnulkhatimah
(akhir yang baik).
Istiqamah dan husnulkhatimah merupakan pasangan proses dan hasil yang tidak bisa
berdiri sendiri karena saling berkaitan satu sama lain. Hidup istiqamah merupakan keberlangsungan
hidup sesuai dengan jalur hidup manusia secara hakiki dengan tuntunan Illahi
dan keteladanan Rasul Illahi SAW. Dari kehidupan yang seperti inilah, akhir
kehidupan dipastikan baik atau husnulkhatimah.
Persoalannya, apa itu hidup istiqamah? Bagaimana akhir yang husnulkhatimah? Dari dua pertanyaan
tersebut penulis uraikan mengupayakan hidup istiqamah
dan berharap husnulkhatimah.
2. Mengupayakan Hidup Istiqamah
Paling tidak tujuhbelas kali, kita
meminta hidup istiqamah dalam tujuh belas rakaat shalat fardhu. Namun,
sadarkah kita sering melupakan doa tersebut di luar shalat dengan hidup tanpa
mengikuti aturan yang lurus? Kalau bicara istiqamah, kita tidak bisa
terlepas dari pentunjuk jalan yang lurus atau hidayah. Hidup istiqamah
berarti mengupayakan hidup dengan penuh nikmat dan menjauhi murka Allah serta
menjauhi cara atau proses kehidupan yang sesat tanpa hidayah Allah.[1]
Hidup istiqamah dimulai dengan
iman kepada Allah dengan sebenar-benar iman diikuti pengakuan bahwa Tuhannya
adalah Allah lalu diikuti dengan keteguhan hati mengikuti apa yang menjadi
keridhan-Nya dan menjauhi apa yang menjadi kemurkaan-Nya.[2]
Kesehariannya terasa tenang karena kehidupannya dijalankan dan dijamin oleh
Allah SWT.
Para mufasirin memaknai istiqamah
mencakup tiga hal, yaitu keteguhan dalam Islam, ketaatan kepada Allah, dan
keihlasan dalam beribadah.[3]
Agar bisa hidup istiqamah, pertama kita
mesti memahami, merenungkan, dan mengaplikasi dua kalimah syahadah sebagai
pengakuan total bahwa hanya Allah yang pantas disembah dan hanya Muhammad SAW
yang pantas diteladani. Cara kedua,
adalah banyak berinteraksi dengan Alquran dalam arti membaca, memahami isinya,
dan mengamalkan ajarannya karena Alquran telah mengimformasikan dengan jelas
dan detail mengenai apa saja yang menjadi keridhaan-Nya dan apa saja yang
menjadi kemurkaan-Nya. Kita mesti memulai beramal baik dari yang sederhana,
dari diri sendiri, dan dari sekarang, jangan menuntut orang lain meneladani,
jangan pula menunda-nunda amal kebaikan.
Cara ketiga, adalah menjadikan setiap saat kita bisa bermanfaat
untuk orang lain, jangan mengambil manfaat dari orang lain apa lagi menjadi
benalu bagi orang lain. Oleh karena itu, kita mesti banyak bergabung dalam
majelis orang-orang shalih, majelis zikir, mejelis taklim, dan majelis
shalawat. Dari pergaulan dalam mejelis-majelis tersebut, kita bisa membaca
kisah-kisah hidup orang-orang shalih, meningkatkan pemahaman agama, dan
keyakinan akan kehidupan akhirat.
3. Berharap Husnulkhatimah
Husnulkhatimah
atau akhir hidup yang baik adalah kondisi seorang mukmin menjelang ajalnya
dengan mendapat taufiq dari Allah berupa keteguhan dalam ketaatan kepada Allah
dan menjauhi kemurkaan-Nya. Rasulullah Saw telah bersabda,
“Apabila Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka Allah
menggerakkannya beramal. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana Allah
menggerakkannya beramal?’ Belau bersabda, ‘Allah memberi taufiq dengan beramal
shalih sebelum ajalnya.[4]
Adapun tanda-tanda husnulkhatimah yang bisa kita lihat
adalah pertama, kalam terakhir
adalah syahadah, laailaahaillallah
Muhammadurrasulullah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Barang siapa yang akhir perkataannya laailaahaillallah maka masuk
surga”[5]
Kedua, meninggal dengan keringat di dahinya berdasarkan kabar
hadits bahwa orang mukmin meninggalnya dengan berkeringat di dahinya.[6]
Ketiga, meninggal pada malam dan
hari Jumat berdasarkan hadits yang artinya, “Tidaklah seorang mukmin meninggal pada Jumat melainkan Allah akan
menjaganya dari fitnah.”[7]
Keempat, meninggal karena sakit perut atau yang
berhubungan dengan perut, berdasarkan hadits, “Barang siapa meninggal karena sakit perut, maka dia adalah syahid.”[8]
Kelima, meninggal
karena tha’un (wabah penyakit) berdasarkan hadits, “Tha’un adalah syahid bagi seorang mukmin.”[9]
Keenam, meninggal karena
telenggam, berdasarkan hadits, “Orang
yang syahid itu ada lima, yaitu meninggal kerena tha’un, sakit perut,
tenggelam, kejatuhan bangunan atau jatuh di tebing, dan meninggal di jalan
Allah.”[10]
Ketujuh, meninggal
karena berjuang di jalan Allah, berdasarkan hadits tersebut di atas. Kedelapan, meninggal karena melahirkan
anak. Kesembilan, meninggal karena
terbunuh saat mempertahankan hartanya. Kesepuluh,
meninggal pada saat beramal shalih.
Kesepuluh tanda tersebut yang bisa
kita lihat. Namun, pada hakikatnya yang mengetahui akhir husnulkhatimah atau suulkhatimah
adalah pribadi kita masing-masing. Oleh karena itu, kita harus mengupayakan husnulkhatimah dengan menempuh hidup istiqamah.
4.
Penutup
Akhir husnulkhatimah tidak
sertamerta dapat kita raih tanpa upaya apapun. Uapaya meraih husnulkhatimah
ditempuh dengan membiasakan hidup lurus atau istiqamah dan dengan selalu
berdoa, “Allahummakhtim lanaa bihusnilkhatimah walaa takhtim lanaa
bisuilkhatimah.” Wallahul a’lam
bishshawab.
[1] Q.
S. Alfatihah [1]: 7
[2] Q.
S. Fushshilat: 30
[3]
Dalam nettik.net, diunduh 29 Agustus 20017
[4] H.
R. Ahmad dan Turmudzi
[5] H.
R. Abu Dawud
[6] H.
R. Ahmad
[7] H.
R. Ahmad dan Turmudzi
[8] H.
R. Muslim
[9] H.
R. Bukhari
[10]H.
R. Bukhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar