Kisah Ayahanda Imam Syafi’i dan
Buah Apel
Alkisah ada seorang pemuda yang
pergi menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia haus dan singgah sebentar di
sungai yang airnya jernih. Saat meminum airnya. terlihat sebuah apel yang
terbawa arus sungai, dia pun mengambilnya dan segera memakannya. Setelah tergigit
apel itu, tersadar dirinya dan berkata “Astagfirullah”.
Dirinya diliputi rasa bersalah
karena telah memakan apel yang bukan miliknya. Dia bergumam: “Apel ini
pasti punya pemiliknya, lancang sekali aku sudah memakannya. Aku harus menemui
pemiliknya dan menebus apel ini”. Akhirnya dia menunda perjalanannya menuntut
ilmu dan pergi menemui sang pemilik apel dengan menyusuri bantaran sungai. Tak
lama kemudian dia sudah pada kebun apel yang tumbuh dengan lebat dan diyakini
disitulah pemilik apel berada.
“Assalamualaikum….”ucap pemuda
.”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya.
Pemuda itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung menyampaikan maksud dirinya
menemui orang tua itu atas kelancangan memakan buah apel yang bukan miliknya.
“Berapa harus kutebus harga apel
ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua”. tanya pemuda itu. Lalu pak tua
itu menjawab. “Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku
selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berfikir, kaget
karena untuk sebuah apel saja dia harus membayar dengan bekerja di rumah bapak
itu selama tiga tahun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang
harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya mau.”
Alhasil pemuda itu bekerja di
kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu, bulan dan
tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja dikebun itu. Dan
hari terakhir dia ingin pamit kepada pemilik kebun.
“Pak tua, sekarang waktuku
bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha atas apel yang
sudah aku makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak.
“Kenapa pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya,
tapi aku tetap tidak ridha jika kau belum melakukan satu permintaanku
lagi.””Apa itu pak tua?”.”Kau harus menikahi putriku, apakah kau mau?”
“Ya, aku mau.” jawab pemuda
itu. Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli,
bisu dan lumpuh, apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana kalau
dia harus menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya dan gadis itu cacat, buta,
tuli, dan lumpuh.
Bagaimana dia bisa berkomunikasi
nantinya? Tapi diapun ingat kembali dengan sebuah apel yang telah dimakannya.
Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik kebun apel itu untuk
mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau.”.Segera
pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda itupun masuk kamar
pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya ketika dia mendengar
salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang
bapak pemilik apel yang sudah menjadi mertuanya.
“Ayahanda…siapakah wanita yang
ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”.Pak tua itu
tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana
adalah istrimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku
buta, tuli tapi kenapa dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi
kenapa dia bisa menjawab salamku?”
Pak tua itu tersenyum lagi dan
menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang dilarang Allah.
Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah.
Dia memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan
dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan
mengucap lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia dengan cinta
dari Allah.
Dari pasangan suami-istri yang
terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir
seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal
Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam
Syafi’i. Itulah buah kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa
ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram,
ibu yang selalu menjaga kesuciannya.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar