REBO WEKASAN: Apa
dan Bagaimana ?
Oleh : Drs. H. Malikun, M.Pd.I.
(Pengasuh Ponpes Al Adzkar)
1.
Pendahuluan
Ada sebuah tradisi di masyarakat
yang mengkhususkan untuk berdoa dan melaksanakan ritual menolak balak pada Rabu
terakhir Safar atau yang lebih dikenal dengan istilah Rebo Wekasan. Tradisi
tersebut bersentuhan dengan Islam karena adanya kegiatan yang bernuansa ibadah
seperti shalat sunah, zikir, sedekah, dan doa. Namun, banyak yang
mempertentangkan tradisi tersebut karena banyak yang menilai sebagai
peninggalan zaman jahiliah.
Tradisi Rebo Wekasan banyak
dilaksanakan di masjid-masjid atau mushala untuk memohon perlindungan kepada
Allah agar terhindar dari bencana. Banyak yang beranggapan bahwa pada hari
tersebut Allah menurunkan 320.000 bencana setiap tahun. Oleh karena itu, mereka
melakukan ritual bernilai ibadah agar dijauhkan dari bencana tersebut.
Tulisan ini sekedar memperjelas
apa yang dimaksud Rebo Wekasan? Bagaimana menyikapinya agar tidak terjatuh
dalam perbuatan syirik? Dengan demikian, tema yang penulis jelaskan adalah
tentang Rebo Wekasan dan pengelolaan Rebo Wekasan.
2.
Tentang
Rabo Wekasan
Rabo Wekasan merupakan istilah
Jawa yang berarti Rabo terakhir Safar. Pada hakikatnya, hari tersebut sama
dengan hari-hari lain. Begitu pula Safar juga sama dengan bulan-bulan lain.
Artinya, ketika Allah menurunkan azab kepada manusia tidak tergantung kepada
waktu dan tempat, tetapi dengan melihat kondisi manusia pada saat datangnya
utusan ( rasul ) yang menyampaikan ayat atau kebenaran dari Allah. Karena
banyak yang berbuat kufur, Allah lalu mengazabnya.
Allah telah menimpakan azab
kepada kaum Ad karena mereka mendustakan Nabi Hud dengan angin kencang yang
sangat dahsyat pada hari secara terus menerus. Allah telah berfirman, “Kadzdzabat‘Aadun
fakaefa kaana ‘adzabii wanudzur (18) Innaa arsalnaa ‘alaihim riihan sharsharan
fii yaumi nahsin mustamir (19) (=Kaum Ad pun telah mendustakan, maka betapa
dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku (18) Sesungguhnya Kami telah menghembuskan
angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus (19)[1]Menurut
tafsir Alqurtubi dan Ismail Alburuswi, yaumi nahsin mustamir atau hari
nahas yang terus-menerus jatuh pada Rabu terakhir Safar. Dalam tafsir tersebut
juga dijelaskan bahwa Arba Mustamir hanya menimpa kaum Ad karena
mendustakan Nabi Hud a.s. dan tidak terjadi pada setiap tahunnya. Dalam tafsir
tersebut juga dijelaskan anggapan bahwa Safar bulan sial merupakan warisan
Jahiliah.[2]
Anggapan bahwa Safar adalah bulan
sial juga ditentang oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Tidak ada
penyakit menular, tidak ada buruk sangka terhadap suatu kejadian, tidak ada
malang pada burung hantu, dan tidak ada bala pada Safar.” [3]Dengan
demikian, jelaslah bahwa anggapan Safar adalah bulan sial adalah warisan
jahiliah dan kaum muslimin dan mukminin haram mempercayainya.
3.
Pengelolaan
Rebo Wekasan
Bagaimana dengan kebiasaan yang
terjadi di masyarakat kaitan dengan Rebo Wekasan? Ritual tersebut bermula dari
sebuah berita gaib yang datang dari Aulia Allah yang ma’rifat billah bahwa setiap
tahunnya Allah SWT menurunkan 320.000 bencana pada Rabu terakhir Safar. Syekh
Ahmad bin Umar Addairobi dalam kitabnya “Mujarabat Addairobi” menjelaskan
bahwa berita gaib tersebut merupakan ilham yaitu bisikan dari Allah SWT kepada
para kekasih-Nya. Ilham tersebut merupakan informasi dari alam ghaib. Jadi,
anjuran tersebut tidak berkaitan dengan syariat dan tidak menjadi dasar hukum
suatu amal.
Ilham tidak boleh dilaksanakan
orang lain apalagi orang awam sebelum dicari dasar Quran dan Haditsnya. Shalat
atau amal lain yang dikhususkan untuk menolak bala pada Rabu terakhir Safar
tidak ada dasarnya sama sekali.[4]
Muktamar NU ke-3 menyarankan agar shalat tesebut diniatkan dengan shalat sunah mutlak atau
shalat hajat.
Musyawarah NU Jawa Tengah 1978
juga pernah membahas perihal shalat khusus Rabo Wekasan. Keputusannya adalah
shalat yang dikhususkan tersebut haram hukumnya kecuali diniatkan shalat sunah
mutlak atau hajat. Keputusan tersebut pada dasarnya menguatkan keputusan
Muktamar NU ke-2 tahun 1971 di Surabaya yang menghukumi sama terhadat shalat
khusus Rebo Wekasan.[5]
Adapun hukum berdoa pada Rabo
Wekasan adalah boleh asal dengan niat mohon perlindungan secara umum. Sedangkan
menyebarkan amalan yang tidak ada dasar hukumnya haram, demikian fatwa dari
Hadratus Syekh Muhammad Hasim Asy’ari.[6]
Lalu bagaimana mengelola tradisi secara
benar? Yang pertama dilakukan adalah keyakinan bahwa azab Allah SWT datangnya
tidak terpancang waktu dan tempat melainkan atas kehendak-Nya. Orang awam yang
percaya akan informasi gaib dari arifin (orang yang makrifat) bahwa pada Rebo Wekasan Safar Allah SWT
menurunkan 320.000 bencana hendaknya bertawakal kepada-Nya dan berdoa mohon
perlindungan kepada-Nya. Adapan amalan-amalan yang bisa kita laksanakan mulai
dari bakda Magrib malam Rabu terakhir Safar adalah sebagai berikut:
a.
Shalat
Sunah Mutlak atau Hajat sebanyak empat rakaat ( dua salam) dengan membaca pada
saat
berdiri setiap rakaatnya Alfatihah 1X, Alkautsar 17X, Alikhlas 5X, Alfalaq
1X, dan Annas 1X;
b.
Membaca
Yasin dan pada ayat Salaamun qaulan min Rabbir Rahiim dibaca
berulang-ulang
sebanyak 313X;
c.
Mengucapkan
kalimah Syahadat 3X;
d.
Memperbanyak
membaca istighfar, disarankan sebanyak 300X;
e.
Memperbanyak
sedekah karena sedekah dapat mencegah bencana;
f.
Adapun
minum air putih yang diberi tulisan Arab dari ayat Salaamun qaulan min
Rabbir
Rahiim adalah diperbolehkan asal dengan niat bertabaruk kepada ayat tersebut;
g.
Banyak
bertobat dengan membaca doa Nabi Yunus a.s., Laa ilaaha illaa anta
subhaanaka innii
kuntu minazh zhaalimiin.[7]
4.
Penutup
Akhirnya, jelaslah bahwa informasi
gaib akan datangnya 320.000 bencana pada Rebo Wekasan adalah ilham yang
dibisikkan Allah SWT kepada para kekasih-Nya. Orang awam yang mempercayainya
hendaknya bertawakal kepada Allah dan melaksanakan amalan-amalan yang sesuai
dengan syariat agar tidak terjatuh dalam jurang kemusyrikan. Wallahu a’lam
bish shawab.
[1] Q.S. Alqomar [54]: 18-19
[2]Dikutip dari media Tebuireng.on line
[3]Hadits dari Abu Huraira r.a. penulis unduh dari Islamnusantara.com
[4]Keputusan Muktamar NU ke-3 berdasarkan Kitab Ahkamul Fuqaha, 2010:54
[5]Keputusan tersebut bersumber kepada Kitab Tuhfatul Muhtaj juz VII
halaman 317
[6]Media Tebuireng.on line
[7]Diunduh dari Islamnusantara.com dengan menukil Kitab Kanzun Najal was
Suraar fii Fadhail Azmina wasy Syuhaar karya Imam Abdul Hamid Quds dengan
beberapa perubahan redaksional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar