Oleh : Abah Malikun
(Pengasuh Ponpes Al Adzkar Pucang Gading Mranggen Demak)
1. Pendahuluan
Sebagai negara demokratis,
Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) setiap lima tahun untuk memilih anggota
DPR, DPRD I, DPRD II, DPD, dan untuk tahun ini bersamaan dengan Pemilihan
Presiden (Pilpres) masa bakti 2019-2024. Baik Pemilu maupun Pilpres merupakan
pesta demokrasi yang di dalamnya terdapat semangat dan kegembiraan seluruh
rakyat. Tidak ada yang tersakiti, tidak ada yang tersisih, semuanya harus mau
menerima hasil dengan gembira pula.
Negara memberi hak kepada seluruh
rakyat untuk dipilih (hak pilih pasif) dan memilih hak pilih aktif) sesuai
dengan undang-undang atau ketentuan yang telah disepakati bersama baik oleh
wakil rakyat (DPR) maupun lembaga yang berwenang (KPU). Hak untuk dipilh
diberikan oleh negara kepada partai peserta pemilu dan siapa saja yang layak
menurut ketentuan yang berlaku. Semuanya memiliki visi dan misi yang mulia
untuk kejayaan negara dan bangsa ini. Oleh karena itu, kualitas mereka secara
admistratif pasti sudah terjamin.
Bagaimana halnya dengan kualitas pribadi?
Untuk mengenali kualitasnya, perlu dilihat rekam jejak keterlibatan mereka
dalam membangun bangsa dan negara bukan hanya mengobral janji atau bahkan
menebar fitnah kepada lawan politiknya. Rekam jejak yang dimaksud adalah aksi
dan pribadi mereka dalam kancah politik, sosial, agama dalam masyarakat.
2. Pemilih Bebas Memilih
Pemilih adalah warga negara yang
menurut undang-undang dan ketentuan yang berlaku memiliki hak untuk menentukan
pilihannya dalam pemilu. Karena hak tersebut dijamin oleh negara, maka mereka
memiliki kebebasan memilih calon wakil rakyat, anggota DPD, atau calon presiden
dan wakil presiden. Tentu saja kebebasan tersebut harus disertai rasa tanggung
jawab terhadap nasib bangsa dan negara lima tahun mendatang dengan merenung
secara mendalam. Mereka seharusnya menentukan pilihannya dengan hati nurani
yang bersih serta akal yang rasional.
Masing-masing warga negara tidak
boleh saling memaksakan kehendak kepada yang lain apa lagi hanya menyangkut
urusan pencoblosan yang tidak lebih dari 5-10 menit. Dalam urusan agama yang
paling mendasar dan krusial dalam hidup ini pun, orang lain tidak bisa
memaksakan kehendak kepada yang lain. Allah SWT dengan tegas menyatakan, “LAA
IKRAAHA FID DIEN” (=Tidak ada paksaan dalam beragama).[1]
Allah saja tidak memaksakan kehendak-Nya agar manusia mengikuti kebenaran yang
telah diwahyukan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada umatnya. Ketika
orang-orang kafir mengajak join dalam pengamalan agama, Allah mewahyukan kepada
Beliau SAW agar berkata tegas kepada mereka, “LAKUM DIINUKUM WALIYADIINI”
(=Bagimu agamamu dan bagiku agamaku).[2]
Dalam Islam, ada larangan untuk
memaksa siapapun agar sependapat dengan apa yang ada dalam isi otak kita. Dalam
memilih agama saja ada kebebasan seluas-luasnya apa lagi hanya urusan politik.
Kepada orang lain kita hanya boleh menyampaikan nilai-nilai saja dengan
sewajarnya tanpa paksaan. Rasulullah SAW hanya diberi pesan oleh Allah SWT
untuk menyampaikan nilai-nilai, tidak sampai memaksa. Allah SWT telah berpesan
kepada Beliau SAW, “IN ‘ALAIKA ILLALBALAAGHU” (=Tidaklah atasmu kecuali hanya
menyampaikan [risalah]).[3]
Agar memiliki pedoman dalam
menentukan, kita perlu merenung kembali tiga karya besar dari kepemimpinan
Rasulullah SAW yaitu mengesakan Allah (tauhidul Illahi), kesatuan umat
(tauhidul umamati), dan kesatuan pemerintah (tauhidul hukumati).[4]
Pemimpin dan wakil yang kita pilih calon yang memiliki landasan akidah yang kokoh
dan pengamalan syariat yang utuh dan akhlak yang mulia. Calon yang kita pilih
adalah yang terbukti telah mampu menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dengan berdasarkan kepada Pancasila, UUD 1945, dan Bineka Tunggal Ika (
empat pilar negara). Yang terakhir adalah mampu mengelola aset serta seluruh
komponen bangsa agar bersama-sama membawa negara dan bangsa menjadi lebih maju.
Khusus untuk wakil rakyat, calon
yang semestinya kita pilih adalah yang adil, berilmu pengetahuan luas, dan memiliki
pendirian yang teguh.[5]
Dari tiga pedoman tersebut, kita bisa menentukan pilihan dengan mantap dan
penuh tanggung jawab.
3. Pemilu Damai: Sebuah Keharusan
Dalam berpolitik, perbedaan
pandangan adalah hal yang biasa. Jumlah partai peserta pemilu yang demikian
banyak tentu masing-masing memiliki tujuan, visi, dan misi sendiri. Tinggal
bagaimana kita menyikapi partai yang sesuai dengan nurani. Begitu pula, wakil
rakyat dari setiap partai, dan dapil ( daerah pemilihan) yang juga banyak dan belum
semua kita kenali. Bagaimana mengenal mereka? Jawabannya adalah mencari sumber
akurat dari berbagai media informasi tanpa terpengaruh fitnah dan berita
bohong. Kaitan dengan calon presiden danwakil presiden, kita sedikit banyak
telah mengenal karena mereka putra-putra bangsa yang terbaik saat ini.
Dengan nurani dan akal sehat, kita
mesti mampu mengelola perbedaan pandangan tersebut menjadi energi menjadi
pemilu yang damai tanpa ada saling menghujat, saling mem-bully, maupun saling menghina. Rasulullah SAW telah berpesan
sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, sampai kepada setan yang benar-benar
dilaknat oleh Allah dan menjadi musuh kita. Kita tetap tidak boleh mengumpat,
mencaci maki, dan lain sebagainya. Kita hanya diperintahkan untuk mohon perlindungan
kepada Allah SWT dari kejahatannya. Rasulullah telah bersabda, “LAA TASUBBUSY
SYAITHAANA WATU’AWWIDZUU BILLAHI MIN SYARRIHI” (=Jangan kalian mencaci maki
setan, mintalah perlindungan kepada Allah dari kejahatannya). Allah SWT juga
telah menegaskan, “WALAA TASUBBULADZIINA YAD’UUNA MIN DUUNILLAHI FAYASUBBULLAHA
‘ADWAN BIGHAIRI ‘ILMIN” (= Dan janganlah kalian mencaci maki sesembahan yang
mereka sembah selain Allah, hal itu akan menjadikan mereka mengolok-olok Allah
dengan memusuhi tanpa pengetahuan).[6]
Dengan memperhatikan sekaligus
mengamalkan kandungan hadits dan ayat tersebut, pemilu damai pasti akan
tercipta dengan menghasilkan keputusan berdasarkan musyawarah dengan asas
mufakat. Untuk menciptakan pemilu damai juga harus kita pupuk rasa persaudaraan
sesama muslim (ukhuwah Islamiyyah), persaudaraan sesama bangsa Indonesia
(ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyyah).
4. Penutup
Akhirnya, Sebuah perenuangan
perlu kita sadari bahwa memilih adalah hak asasi manusia yang dijamin
kebebasannya oleh negara. Pemilu damai harus kita ciptakan agar tercipta
kondisi yang nyaman, dan menghasilkan kesepakan yang manfaat dan berkah untuk
seluruh komponen bangsa dan negara kita. Wallahu a’lam bishshawab.
[1] Q.S.Albaqarah: 256
[2] Q.S.Alkafirun:6
[3] Q.S.Asysyura:48
[4] Drs.H.Malikun, M.Pd.I.,Revolusi
Mental Sebuah Aplikasi Hijrah, Demak: PP Al Adzkar, 2016, hlm. 20
[5] H.Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung:
Sinar Baru Agensindo, 2001, hlm.499-500
[6] Q.S.Alan’am: 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar