ASPEK
BATINIAH IBADAH HAJI
Oleh : Drs.
H. Malikun, M.Pd.I.
(Pengasuh Ponpes
Al Adzkar Pucang Gading)
1.
Pendahuluan
Ibadah haji adalah ibadah wajib bagi muslim yang mampu melaksanakan
perjalanan sampai tanah suci ( Makkah dan Madinah ) sekali dalam seumur hidup.
Allah SWT telah berfirman, “WALILLAHI ‘ALANNAASI HIJJULBAITI MANISTATHA’A
ILAIHI SABIILLAN WAMAN KAFARA FAINNALLAHA GHANIYYUN ‘ANIL’ALAMIIN” (=Dan
kewajiban dari Allah atas manusia yaitu haji bagi siapa saja yang mampu atas
perjalanan sampai Ka’bah. Dan barang siapa yang kufur maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya dari seluruh alam).[1]
Kewajiban haji atas muslim
disebabkan karena ibadah tersebut merupakan rukun Islam yang kelima setelah
syahadat, shalat, zakat, dan puasa pada bulan Ramadhan. Rasulullah SAW telah
bersabda,
“BUNIYAL ISLAMU
‘ALAA KHAMSIN SYAHADATIN LAAILAAHAILLALLAH WAANNA MUHAMMADAN RASULULLAH
WAIQAAMISHSHALLATI WAITAAIZZZAKAATI WASHAUMI RAMADHANA WAHIJJIL BAITI
MANISTATHA’A ILAIHI SABIILAN” (=Islam itu dibangun dengan lima pilar yaitu
kesaksian tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada Ramadhan, serta haji di Ka’bah
bagi siapa saja yang mampu melakukan perjalanan sampai Ka’bah)[2]
Ibadah yang merupakan pilar atau
rukun Islam tersebut ada yang hanya ucapan (syahadat), ucapan dan perbuatan
(shalat), harta (zakat), perbuatan saja (puasa), serta ucapan, perbuatan dan
harta (haji). Dengan demikian, haji menggabungkan ucapan, perbuatan, dan harta.
Kesemuanya itu bersifat lahiriah. Justru yang paling penting adalah aspek
batiniah yaitu menggerakkan hati dalam setiap ibadah.
Apa aspek batiniah haji? Bagaimana menjaganya?
Kajian singkat berikut berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut. Dalam kajian
tesebut, penulis deskripsikan aspek batiniah haji dan cara menjaganya.
2.
Aspek
Batiniah Ibadah Haji
Aspek batin yang utama dari haji adalah menyempurnakan niat hanya karena
Allah, menjaga lisan dari perkataan kotor dan menjauhkan diri dari perbuatan
fasik. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “MAN
HAJJA LILLAH FALAMYARFUTS WALAMYAFSUQ RAJA’A KAYAUMIN WALADATHU UMMUHU”
(=Barang siapa haji karena Allah kemudian tidak berkata kotor dan tidak fasik
maka pulang dari haji laksana bayi bayi yang baru saja dilahirkan ibundanya).[3]
Menyempurkan niat haji karena
Allah adalah mutlak harus dilakukan karena diterima atau ditolaknya ibadah haji
karena niat tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda, “INNAMAA A’MAALU
BINNIYATI” (=Sesungguhnya amal itu tergatung niatnya).[4]
Dalam kaidah fikih juga disebutkan, “AL’AMALU BIMAQASIDIHI” (=Amal itu
tergantung maksud amal tersebut). Jika dikerjakan semata-mata karena berharap
ridha Allah, maka hajinya akan sampai kepada-Nya dengan mendapatkan pahala
sesuai yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya (haji mabrur). Namun, jika
dikerjakan karena prestise atau kerena gengsi maka hajinya tidak akan sampai
kepada-Nya.
Haji yang dikerjakan karena Allah
disebut haji mabrur yaitu haji yang menjadi kebaikan baik dalam prosesnya
(manasiknya) maupun sesudahnya (setelah kembali ke tanah airnya menjadi agen
perubahan dan agen kebaikan). Rasulullah SAW telah bersabda, “AL’UMRATU
ILAL’UMRATI KFARATUN LIMAA BAINIHIMAA WALHAJJUL MAMRUURU LAISA LAHU JAZAA-A
ILLALJANNAH’ (= Umrah yang satu ke umrah yang lain menjadi kifarat
keduanya, haji mabrur tidak ada balasan yang pantas kecuali surga).[5]
Dengan demikan, titel haji mabrur hanya pantas disematkan kepada orang yang
bias menciptakan surga bagi lingkungannya sekembalinyan dari tanah suci. Oleh
karena itulah, Allah SWT menegaskan, “ATIMMUL HAJJA WAL’UMRATA LILLAH”
(= Sempurnakan haji dan umrah karena Allah).[6]
Aspek batiniah haji kedua adalah
menjaga lisan dari berkata kotor. Dalam Quran dinyatakan “WALAA RAFATSA
WALAA FUSUUQA WALAA JIDAALA FILHAJJI” (= Tidak berkata kotor, tidak fasik,
dan tidak berbantah-bantahan di dalam haji).[7] Hal tersebut menunjukkan bahwa haji adalah
ibadah yang menyeimbangkan hati yang ikhlas karena Allah dan lisan serta
perbuatan yang baik kepada sesama. Dalam pelaksanaannya, jamaah haji harus
menghindarkan diri dari berkata kotor dan berbantah-bantahan.
Lisan yang kotor tidak saja akan
mengotori hati tetapi juga merugikan orang lain. Oleh karenanya, Rasulullah SAW
menegaskan, “MAN KAANA YU-MINU BILLAHI WALYAUMIL AKHIRI FALYAQUL KHAIRA
AULIYATSMUT” (=Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
sebaiknya berkata yang baik atau diam).[8]
Untuk menjaga lisan agar tetap dalam kondisi prima, jamaah haji harus
mengembalikan hak lisan yaitu, berzikir, membaca Quran, amar makruf nahi
munkar, dan memenuhi hajat.
Aspek batiniah haji yang terakhir
adalah menjaga perbuatan fasik. Fasik adalah keluar dari ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya serta cenderung berbuat maksiat. Allah SWT telah berfirman, “WALAQAD
ANZALNAA ILAIKA AAYAATIN BAYYINAATIN WAMAA YAKFURU BIHAA ILLAL FASIQUUN” (= Dan sesungguhnya telah Kami turunkan
kepadamu ayat-ayat yang jelas, dan tidaklah mengufurinya kecuali orang-orang
fasik).[9]
Perbuatan fasik seharusnya dihindari oleh jamaah haji baik dalam
manasik-manasik di tanah suci maupun sekembalinya di tanah airnya. Dengan
demikian, seorang yang sudah berhaji akan selalu menjaga ketaatannya kepada
Allah dan Rasulullah SAW sehingga
‘mewarnai emas’ dalam linkingannya.
3.
Penutup
Akhirnya, Aspek batiniah ibadah haji sangat penting di dalam meraih haji
mabrur. Aspek tersebut meliputi niat yang ikhlas kerena Allah, menjaga lisan
dari perkataan kotor dan berbantah-bantahan serta menjauhkan diri dari kefaikan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[1] Q.S.Ali ‘Imran: 97
[2] H.R.Bukhari dan Muslim dalam Kitab
Fadhaailul Hajji walbait
[3] H.R.Bukhari nomor 1521
[5] H.R. Annasai jilid V/110-116
[6] Q.S.Albaqarah: 196
[7] Q.S.Albaqarah:197
[8] Hadits ini dinukil dari kitab
Arba’in Nawawi
[9] Q.S.Albaqarah:99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar