MEMPERSIAPKAN
PUASA KITA
1.
Pendahuluan
Salah satu doa yang diajarkan
Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab adalah Allahumma barik lanaa fii rajaba wasya’bana wabalighnaa ramadhana (=Ya
Allah berkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’bana serta perjalankan kami menuju
Ramadhan).[1]
Doa ini memberi pemahaman bahwa untuk
memasuki bulan Ramadhan, kita harus mempersiapkan diri sejak bulan Rajab baik
persiapan fisik maupun mental. Fisik berarti tubuh kita harus sehat dan kuat.
Sedangkan mental menyangkut hati kita menunjukkan kegembiraan menyambut
Ramadhan, seperti sabda Rasul SAW, “Man
fariha bidukhuli ramadhana harramahullahu ‘alan nirani” (=Barang siapa yang
berbangga hati dengan kedatangan Ramadhan, Allah telah mengharamkannya dari api
neraka).[2]
Kata
‘barik’ dalam hadits tersebut mengandung kebaikan dunia akhirat. Allah telah
mengajarkan kita doa ‘rabbanaa aatinaa fid dunya hasanatan wafil
aakhirati hasanatan waqinaa ‘adzaaban naari’ (= Ya Tuhan kami, beri kami
kebaikan di dunia dan akherat, serta jagalah kami dari azab neraka).[3]
Oleh karena itulah, persiapan menghadapi Ramadhan diwujudkan dengan usaha
peningkatan kualitas iman dan takwa sehingga pada saat menjalankan puasa pada
bulan Ramadhan, iman benar-benar sudah kondisif.
Dari uraian di atas, rumusan
masalah yang muncul adalah apa saja yang harus kita persiapkan agar puasa
Ramadhan kita benar-benar berjalan sesuai dengan syariat? Apa hakikat puasa
kita? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini memerikan persiapan puasa
kita dan hakikat puasa kita.
2.
Persiapan
Puasa Kita
Pada dasarnya, persiapan untuk
memasuki bulan Ramadhan/bulan Puasa meliputi persiapan fisik, mental spiritual,
dan persiapan keilmuan. Persiapan fisik berupa persiapan badan agar tetap sehat
dan kuat selama menjalani ibadah puasa, mengingat salah satu syarat wajibnya
adalah mutiq (kuat/kuasa).[4]
Dengan demikian, orang yang tidak kuat berpuasa karena sakit atau renta tidak
wajib berpuasa. Itulah sebabnya, persiapan fisik sangat penting. Persiapan
tersebut dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan dengan banyak berolah raga
dan makan makanan yang berimbang nilai gizinya.
Persiapan mental spiritual yang
utama adalah iman. Mengapa demikian? Yang mendapat mandat untuk beribadah puasa
diterangkan dalam al Quran adalah orang-orang yang beriman dengan panggilan ‘yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba
‘alaikumusy syiyaamu kamaa kutiba ‘alalldziina min qablikum la’allakum
tattaquuna’ (=Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian
berpuasa seperti halnya telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertaqwa).[5]
Iman adalah keyakinan dalam hati akan adanya Allah. Dengan keyakinan tersebut,
manusia dapat melaksanakan puasa secara berkualitas karena amalnya akan
mendapat balasan dari Allah.
Persiapan mental spiritual yang lain
adalah mengkondisikan jiwa agar selalu bahagia dan ceria ketika menyadari bahwa
bulan puasa sudah dekat. Dalam hal ini, Allah melalui Rasulullah SAW telah
memberikan insentif bagi siapa saja yang merasa berbahagia dengan datangnya
bulan Ramadhan. Di samping itu, persiapan mental spiritual dapat
dilakukan dengan memperbanyak puasa sunah selama bulan Rajab dan Sya’ban. Tidak
ketinggalan pula bagi yang memiliki hutang puasa tahun lalu untuk segera
menyempurnakannya sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Persiapan keilmuan menyangkut
pembelajaran tentang ketentuan-ketentuan puasa (fiqhusy syiyam), antara lain: syarat wajib puasa, rukun puasa,
syarat sah puasa, dan perkara yang membatalkan puasa. Syarat wajib puasa
meliputi mukalaf (muslim, baligh, dan
berakal) dan mutiq ( kuat baik secara fisik,
psikhis, maupun secara formal hukum).[6]
Sedang rukun puasa ada dua, yaitu niat (pada setiap malam) dan imsak/menahan dari semua yang membatalkan
puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari.[7]
Adapun syarat sah puasa adalah
tetap dalam Islam sepanjang hari, suci (dari haid, nifas, dan wiladah), tamyiz
(dapat membedakan yang salah dan yang benar), dan menepati waktunya (dari terbit
fajar sampai dengan terbenam matahari).[8]
Hal-hal yang membatalkan puasa meliputi membatalkan niat, makan dan minum
dengan sengaja, berstubuh, muntah dengan sengaja, mendapati haid, melihat hilal
bulan syawwal, mengeluarkan mani dengan tangan (onani), dan memasukkan sesuatu
ke tubuh melalui rongga (hidung, mulut, telinga, qubul, dan dubur).[9]
Mengenai bahasan fiqhusy syiyam
sebaiknya dibaca secara menyeluruh dalam buku-buku tentang puasa.
3
Hakikat
Puasa Kita
Menurut bahasa, shaum berarti al imasaku (=menahan diri). Adapaun menurut syari, shaum berarti menahan diri dengan niat
dari seluruh yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersetubuh mulai
dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari.[10]
Di samping itu, dalam puasa, kita juga
harus menahan yang membatalkan pahala puasa seperti hasud, fitnah, memandang
dengan syahwat dan sebagainya.
Secara umum, puasa merupakan
bentuk ibadah yang berupa pengekangan diri tarhadap hawa nafsu untuk mencapai
kualitas ketakwaan terhadap Allah SWT.[11]
Secara khusus, hakikat puasa, yang pertama,
adalah tarbiyati iradat (pendidikan
keinginan).[12]
Keinginan dan kemauan merupakan fitrah manusia. Namun, keinginan dan kemauan
manusia tidak selalu baik dan tidak selalu buruk. Dengan puasa, keinginan
positip bisa terus termotivasi untuk lebih berkembang dan meningkat. Adapun
keinginan negatip bisa diarahkan agar tidak terlaksana.
Hakikat puasa kedua adalah thariqatul
malaikat (jejak malaikat). Dengan puasa, kita telah beramal seperti malaikat
yang tidak memilik hawa nafsu dan selalu patuh dan taat kepada Allah SWT.
Malaikat adalah makhluk Allah yang suci. Puasa mampu menjadikan pelakunya
mengalami proses katarsis (penyucian) sehingga ketika keluar dari bulan
Ramadhan laksana bayi yang baru lahir, jiwanya terbebas dari setiap dosa dan
kesalahan.
Hakikat puasa yang ketiga adalah tarbiyyatul ilahiyyat (pendidikan ketuhanan). Puasa membutuhkan
ketaatan seorang hamba kepada Rab-nya.
Tanpa ketatan, yang terjadi hanyalah kebohongan dengan berbagai alasan, baik
fisik maupun social ekonomi. Dengan puasa, manusia lebih terbimbing dan terarah
menjadi hamba yang merasa dekat dengan Tuhannya.
Hakikat puasa kempat adalah tazkiyyatun
nufuus (penyucian jiwa). Puasa dapat dijadikan sebagai sarana untuk
membersihkan berbagai sifat buruk yang terdapat dalam jiwa manusia. Sifat buruk
tersebut merupakan noda jiwa yang yang lama-kelamaan akan menjadikan jiwa
berkarat hitam. Dengan puasa, noda jiwa tersebut lambat laun akan hilang.
3.
Penutup
Ketika bulan Puasa datang,
sebagai seorang mukmin-mukminat, kita harus segera menyiapkan diri untuk
menyambutnya dengan melaksanakan persiapan-persiapan fisik, mental-spiritual,
dan keilmuan. Wallahu a’lam bish shawab.
[1]
Hadits ini dikutip dari kitab Durratun
Nashihiin
[2]
Ibid
[3]
Q.S.2:201
[4]
Kitab Fathul Mu’in hlm. 55
[5]
Q.S.2:183
[6]
Kitab Fathul Mu’in hlm 55
[7]
Teungku Muhammad Hasbi asy Syiddieqy, Pedoman
Puasa (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2000) hlm. 79-83
[8]
Ibid, hlm 84-85
[9]
Ibid, hlm 121-128
[10]
Kitab Fathul Muin hlm.54 dan kitab Durratun Nashihiin hlm.10
[11]
Quran op.cit.
[12]
Rasyid Ridha http://sites.google.com/site/sunudata/home/hakikat
puasa diunduh tanggal 9 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar