Senin, 03 April 2017

Mempersiapkan Puasa Kita

      

MEMPERSIAPKAN


PUASA KITA


      1.      Pendahuluan

            Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab adalah Allahumma barik lanaa fii rajaba wasya’bana wabalighnaa ramadhana (=Ya Allah berkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’bana serta perjalankan kami menuju Ramadhan).[1] Doa ini memberi pemahaman  bahwa untuk memasuki bulan Ramadhan, kita harus mempersiapkan diri sejak bulan Rajab baik persiapan fisik maupun mental. Fisik berarti tubuh kita harus sehat dan kuat. Sedangkan mental menyangkut hati kita menunjukkan kegembiraan menyambut Ramadhan, seperti sabda Rasul SAW, “Man fariha bidukhuli ramadhana harramahullahu ‘alan nirani” (=Barang siapa yang berbangga hati dengan kedatangan Ramadhan, Allah telah mengharamkannya dari api neraka).[2]

Kata ‘barik’ dalam hadits tersebut mengandung kebaikan dunia akhirat. Allah telah mengajarkan kita doa  ‘rabbanaa aatinaa fid dunya hasanatan wafil aakhirati hasanatan waqinaa ‘adzaaban naari’ (= Ya Tuhan kami, beri kami kebaikan di dunia dan akherat, serta jagalah kami dari azab neraka).[3] Oleh karena itulah, persiapan menghadapi Ramadhan diwujudkan dengan usaha peningkatan kualitas iman dan takwa sehingga pada saat menjalankan puasa pada bulan Ramadhan, iman benar-benar sudah kondisif.

            Dari uraian di atas, rumusan masalah yang muncul adalah apa saja yang harus kita persiapkan agar puasa Ramadhan kita benar-benar berjalan sesuai dengan syariat? Apa hakikat puasa kita? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini memerikan persiapan puasa kita dan hakikat puasa kita.

      2.      Persiapan Puasa Kita

            Pada dasarnya, persiapan untuk memasuki bulan Ramadhan/bulan Puasa meliputi persiapan fisik, mental spiritual, dan persiapan keilmuan. Persiapan fisik berupa persiapan badan agar tetap sehat dan kuat selama menjalani ibadah puasa, mengingat salah satu syarat wajibnya adalah mutiq (kuat/kuasa).[4] Dengan demikian, orang yang tidak kuat berpuasa karena sakit atau renta tidak wajib berpuasa. Itulah sebabnya, persiapan fisik sangat penting. Persiapan tersebut dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan dengan banyak berolah raga dan makan makanan yang berimbang nilai gizinya.

              Persiapan mental spiritual yang utama adalah iman. Mengapa demikian? Yang mendapat mandat untuk beribadah puasa diterangkan dalam al Quran adalah orang-orang yang beriman dengan panggilan ‘yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumusy syiyaamu kamaa kutiba ‘alalldziina min qablikum la’allakum tattaquuna’ (=Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa seperti halnya telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa).[5] Iman adalah keyakinan dalam hati akan adanya Allah. Dengan keyakinan tersebut, manusia dapat melaksanakan puasa secara berkualitas karena amalnya akan mendapat balasan dari Allah.

           Persiapan mental spiritual yang lain adalah mengkondisikan jiwa agar selalu bahagia dan ceria ketika menyadari bahwa bulan puasa sudah dekat. Dalam hal ini, Allah melalui Rasulullah SAW telah memberikan insentif bagi siapa saja yang merasa berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan. Di samping itu, persiapan mental spiritual dapat dilakukan dengan memperbanyak puasa sunah selama bulan Rajab dan Sya’ban. Tidak ketinggalan pula bagi yang memiliki hutang puasa tahun lalu untuk segera menyempurnakannya sebelum memasuki bulan Ramadhan.

          Persiapan keilmuan menyangkut pembelajaran tentang ketentuan-ketentuan puasa (fiqhusy syiyam), antara lain: syarat wajib puasa, rukun puasa, syarat sah puasa, dan perkara yang membatalkan puasa. Syarat wajib puasa meliputi mukalaf (muslim, baligh, dan berakal) dan mutiq  ( kuat baik secara fisik, psikhis, maupun secara formal hukum).[6] Sedang rukun puasa ada dua, yaitu niat (pada setiap malam) dan imsak/menahan dari semua yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari.[7]

            Adapun syarat sah puasa adalah tetap dalam Islam sepanjang hari, suci (dari haid, nifas, dan wiladah), tamyiz (dapat membedakan yang salah dan yang benar), dan menepati waktunya (dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari).[8] Hal-hal yang membatalkan puasa meliputi membatalkan niat, makan dan minum dengan sengaja, berstubuh, muntah dengan sengaja, mendapati haid, melihat hilal bulan syawwal, mengeluarkan mani dengan tangan (onani), dan memasukkan sesuatu ke tubuh melalui rongga (hidung, mulut, telinga, qubul, dan dubur).[9] Mengenai bahasan fiqhusy syiyam sebaiknya dibaca secara menyeluruh dalam buku-buku tentang puasa.

      3        Hakikat Puasa Kita

             Menurut bahasa, shaum berarti al imasaku (=menahan diri). Adapaun menurut syari, shaum berarti menahan diri dengan niat dari seluruh yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersetubuh mulai dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari.[10] Di samping itu, dalam puasa, kita  juga harus menahan yang membatalkan pahala puasa seperti hasud, fitnah, memandang dengan syahwat dan sebagainya.

             Secara umum, puasa merupakan bentuk ibadah yang berupa pengekangan diri tarhadap hawa nafsu untuk mencapai kualitas ketakwaan terhadap Allah SWT.[11] Secara khusus, hakikat puasa, yang pertama, adalah tarbiyati iradat (pendidikan keinginan).[12] Keinginan dan kemauan merupakan fitrah manusia. Namun, keinginan dan kemauan manusia tidak selalu baik dan tidak selalu buruk. Dengan puasa, keinginan positip bisa terus termotivasi untuk lebih berkembang dan meningkat. Adapun keinginan negatip bisa diarahkan agar tidak terlaksana.

             Hakikat puasa kedua adalah thariqatul malaikat (jejak malaikat). Dengan puasa, kita telah beramal seperti malaikat yang tidak memilik hawa nafsu dan selalu patuh dan taat kepada Allah SWT. Malaikat adalah makhluk Allah yang suci. Puasa mampu menjadikan pelakunya mengalami proses katarsis (penyucian) sehingga ketika keluar dari bulan Ramadhan laksana bayi yang baru lahir, jiwanya terbebas dari setiap dosa dan kesalahan.

             Hakikat puasa yang ketiga adalah tarbiyyatul ilahiyyat (pendidikan ketuhanan). Puasa membutuhkan ketaatan seorang hamba kepada Rab-nya. Tanpa ketatan, yang terjadi hanyalah kebohongan dengan berbagai alasan, baik fisik maupun social ekonomi. Dengan puasa, manusia lebih terbimbing dan terarah menjadi hamba yang merasa dekat dengan Tuhannya.

             Hakikat puasa kempat adalah tazkiyyatun nufuus (penyucian jiwa). Puasa dapat dijadikan sebagai sarana untuk membersihkan berbagai sifat buruk yang terdapat dalam jiwa manusia. Sifat buruk tersebut merupakan noda jiwa yang yang lama-kelamaan akan menjadikan jiwa berkarat hitam. Dengan puasa, noda jiwa tersebut lambat laun akan hilang.

     3.      Penutup

            Ketika bulan Puasa datang, sebagai seorang mukmin-mukminat, kita harus segera menyiapkan diri untuk menyambutnya dengan melaksanakan persiapan-persiapan fisik, mental-spiritual, dan keilmuan. Wallahu a’lam bish shawab.





[1] Hadits ini dikutip dari kitab Durratun Nashihiin
[2] Ibid
[3] Q.S.2:201
[4] Kitab Fathul Mu’in hlm. 55
[5] Q.S.2:183
[6] Kitab Fathul Mu’in hlm 55
[7] Teungku Muhammad Hasbi asy Syiddieqy, Pedoman Puasa (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2000) hlm. 79-83
[8] Ibid, hlm 84-85
[9] Ibid, hlm 121-128
[10] Kitab Fathul Muin hlm.54 dan kitab Durratun Nashihiin hlm.10
[11] Quran op.cit.
[12] Rasyid Ridha http://sites.google.com/site/sunudata/home/hakikat puasa diunduh tanggal 9 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...