OLEH : ABAH MALIKUN
1. Pendahuluan
Antara sufistik dan puasa
merupakan dua hal yang saling berhubungan erat dan saling menyempurnakan.
Sufistik merupakan karakter pencari jalan menuju cinta tertinggi, cinta Illahi
dengan sedikit melepaskan sifat hewani dan setani yang melekat dalam
jiwanya. Cara yang ditempuh oleh kelompok sufisme adalah berlapar dahaga
(puasa), diam (memelihara lisan dari perkataan yang yang tidak penting dan
tidak bermanfaat), tidak tidur (bertahajud) dan berhulwat (membatasi pergaulan).[1]
Puasa adalah ibadah khusus
(mahdhah) yang berupa menahan semua yang membatalkannya dari terbit fajar
sampai terbenamnya matahari. Yang membatalkan puasa di sini berupa makan dan
minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, berhubungan badan dengan suami
atau isteri, keluar darah haid atau nifas, dan mengeluarkan mani.[2] Di
samping itu ada perkara yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor,
menggunjing (ghibah), adu domba, melihat dengan syahwat, marah, dan berbuat
aniaya.[3] Al Quran
juga menegaskan bahwa tujuan berpuasa adalah meraih jiwa taqwa, derajat
tertinggi di sisi Rabb-nya.[4]
Jelaslah bahwa hakikat dan tujuan
puasa searah dengan tujuan kelompak sufisme. Lalu apa itu sufistik? Apa pula
hakikat puasa? Bagaimana keterkaitan antara keduanya? Kajian ini menjawab tiga
permasalahan tersebut dengan membahas term pengertian sufistik, hakikat puasa,
dan korelasi/hubungan antara sufistik dan puasa.