Kamis, 05 April 2018

Membaca Kepemimpinan dalam Shalat Berjamaah


MEMBACA KEPEMIMPINAN DALAM SHALAT BERJAMAAH


     1.      Pendahuluan

              Shalat berjamaah adalah bentuk organisasi sesaat yang menerapkan disiplin yang sangat ketat karena semua unsur yang ada di dalamnya harus memenuhi syarat tertentu. Imam sebagai pemimpin harus memiliki kriteria syar’iyah dan sufiyah. Begitu pula makmum disyaratkan tertentu agar tercipta jamaah yang memiliki kekuatan dan keutuhan serta keridhaan dari Allah SWT.

              Kepemimpinan dalam shalat berjamaah merupakan fenomina menarik yang dapat digunakan sebagai objek kajian sekaligus dapat diaplikasikan dalam kepemimpinan di bidang lain baik dalam lingkup yang kecil maupun besar bahkan dalam kepemimpinan dalam suatu negara. Belum banyak yang tertarik mengaplikasikan kepemimpinan tersebut meskipun secara tidak tersistem sudah melaksanakannya.

             Dari uraian tersebut, penulis merasa tertantang untuk sekedar membaca fenomena kepemimpinan untuk selanjutnya berusaha menerapkannya. Siapa pemimpin dalam shalat berjamaah? Bagaimana pelaksanaan kepemimpinan dalam shalat berjamaah? Dua pertanyaan tersebut penulis jadikan sebagai dasar untuk membahas imam dan syarat-syaratnya serta pola kepemimpinan dalam shalat berjamaah.


     2.      Imam Shalat dan Syarat-syaratnya    
    
               Imam dalam shalat berjamaah adalah model pemimpin yang sangat ideal. Seorang imam merupakan the best of men dalam jamaahnya. Dia adalah orang terfasih bacaan Qurannya, terpandai tentang sunah-sunah Nabi SAW, terawal dalam hijrahnya, terdahulu dalam keislamannya, dan yang paling tua umurnya.[1]  

              Jelaslah, bahwa pemimpin dalam shalat memiliki kekuatan komunikasi ke bawah karena terpilih bukan karena like and dislike melainkan karena terpilih secara proporsional dan memiliki legalitas yang sangat tinggi. Jamaah atau makmum sadar betul bahwa imammnya memiliki kapasitas kepemimpinan yang mereka butuhkan dan memiliki kompentensi yang disyarakan secara syariyyah maupun sufiyyah.

             Secara syariyyah, seorang imam dalam shalat berjamaah disyaratkan seorang yang tafaquh fiddiin yaitu orang yang paling dalam ilmu agamanya. Syarat kedua adalah qiraah  yaitu orang yang paling fasih bacaan Qurannya dan paling banyak hafalannya. Ketiga dari syarat imam adalah wara’ yaitu oaring yang paling bisa menjaga dirinya dari berbuat yang dilarang oleh agama. Syarat keempat adalah sinnun yaitu paling tua dalam umur di antara para jamaah. Kelimanya adalah nasab yaitu keturunan dari orang terpandang dalam agama dan akhlanya. Keenamnya adalah hijrah yaitu orang paling lama menempati daerah tempat berjamaah tersebut.[2]
              Sedang syarat secara sufiyyah adalah orang yang paling dekat dengan Tuhannya dan paling belas kasihan kepada jamaahnya. Orang yang dekat dengan Tuhannya akan melaksanakan kepemimpinannya berdasarkan keridhaan-Nya serta dapat dengan mudah menjadi penghubung antara jamaah dan Tuhannya. Kedekatannya kepada jamaahnya akan mempengaruhi pola kepemimpinannya untuk melayani jamaahnya dan berorientasi kepada kepentingan  mereka.

     3.      Pola Kepemimpinan dalam Shalat Berjamaah

            Kepemimpinan yang berlangsung dalam shalat berjamaah menganut pola demokratis yaitu dari, oleh, dan untuk jamaah. Kepemimpinan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Imam dipilih oleh jamaah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh syari. Imam dapat dipilih secara permanen dengan disertai wakilnya maupun dapat juga dipilih pada saat itu juga jika imam tetap dan wakilnya berhalangan hadir. Jelasnya, imam shalat dipilih dari kalangan jamaahnya bukan dari pendatang kecuali imam yang ditunjuk lebih menghargai tamunya misalnya.

             Perjalanan kepemimpinan dilakukan oleh jamaah melalui panggilan muazin ‘hayya ‘alash shalaah’ (=mari mendirikan shalat) dan ‘hayya ‘alal falaah’ (= mari berbuat keberuntungan). Jika imam berbuat kekeliruan, jamaah yang mengingatkannya ( makmum laki-laki akan berkata, “Subhaanallah” dan makmum perempuan akan menepuk pahanya). Hal ini berarti, meskipun imam merupakan pilihan, kesalahan atau kekeliruan tetap harus diingatkan oleh jamaah. Begitu pula gerakan shalat dari takbir sampai salam, makmum harus mengikuti imam. Makmum tidak boleh mendahului imam.

             Pelaksanaan kepemimpinan oleh imam harus berorientasi kepada jamaah. Imam tidak diperkenankan memanjangkan bacaan suratnya manakala jamaahnya orang awam. Begitu pula jika ada anak kecil di dalam jamaahnya, imam harus mempersingkat shalatnya. Setelah menyelesaikan shalatnya, imam memimpin zikir dan berdoa tidak saja untuk dirinya tetapi juga untuk jamaaahnya.

     4.      Penutup

              Akhirnya, kepemimpinan dalam shalat berjamaah menunjukkan kepemimpina yang sangat ideal yang dapat diadopsi dan diterapkan dalam kepemimpina suatu organisasi, lembaga, instansi, bahkan suatu negara. Wallahua’lam bishshawaab.
              
             


[1] http://asysyariah.com
[2] Sarah Sulam Taufiq halaman 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...