MEMBACA KEPEMIMPINAN DALAM SHALAT BERJAMAAH
1.
Pendahuluan
Shalat berjamaah adalah bentuk
organisasi sesaat yang menerapkan disiplin yang sangat ketat karena semua unsur
yang ada di dalamnya harus memenuhi syarat tertentu. Imam sebagai pemimpin
harus memiliki kriteria syar’iyah dan sufiyah. Begitu pula makmum disyaratkan
tertentu agar tercipta jamaah yang memiliki kekuatan dan keutuhan serta
keridhaan dari Allah SWT.
Kepemimpinan dalam shalat
berjamaah merupakan fenomina menarik yang dapat digunakan sebagai objek kajian
sekaligus dapat diaplikasikan dalam kepemimpinan di bidang lain baik dalam
lingkup yang kecil maupun besar bahkan dalam kepemimpinan dalam suatu negara.
Belum banyak yang tertarik mengaplikasikan kepemimpinan tersebut meskipun
secara tidak tersistem sudah melaksanakannya.
Dari uraian tersebut, penulis
merasa tertantang untuk sekedar membaca fenomena kepemimpinan untuk selanjutnya
berusaha menerapkannya. Siapa pemimpin dalam shalat berjamaah? Bagaimana
pelaksanaan kepemimpinan dalam shalat berjamaah? Dua pertanyaan tersebut
penulis jadikan sebagai dasar untuk membahas imam dan syarat-syaratnya serta
pola kepemimpinan dalam shalat berjamaah.
2. Imam Shalat dan
Syarat-syaratnya
Imam dalam shalat berjamaah
adalah model pemimpin yang sangat ideal. Seorang imam merupakan the best of
men dalam jamaahnya. Dia adalah orang terfasih bacaan Qurannya, terpandai
tentang sunah-sunah Nabi SAW, terawal dalam hijrahnya, terdahulu dalam keislamannya,
dan yang paling tua umurnya.[1]
Jelaslah, bahwa pemimpin dalam
shalat memiliki kekuatan komunikasi ke bawah karena terpilih bukan karena like
and dislike melainkan karena terpilih secara proporsional dan memiliki
legalitas yang sangat tinggi. Jamaah atau makmum sadar betul bahwa imammnya
memiliki kapasitas kepemimpinan yang mereka butuhkan dan memiliki kompentensi
yang disyarakan secara syariyyah maupun sufiyyah.
Secara syariyyah, seorang imam
dalam shalat berjamaah disyaratkan seorang yang tafaquh fiddiin yaitu
orang yang paling dalam ilmu agamanya. Syarat kedua adalah qiraah yaitu orang yang paling fasih bacaan
Qurannya dan paling banyak hafalannya. Ketiga dari syarat imam adalah wara’ yaitu
oaring yang paling bisa menjaga dirinya dari berbuat yang dilarang oleh agama. Syarat
keempat adalah sinnun yaitu paling tua dalam umur di antara para jamaah.
Kelimanya adalah nasab yaitu keturunan dari orang terpandang dalam agama
dan akhlanya. Keenamnya adalah hijrah yaitu orang paling lama menempati
daerah tempat berjamaah tersebut.[2]
Sedang syarat secara sufiyyah
adalah orang yang paling dekat dengan Tuhannya dan paling belas kasihan kepada
jamaahnya. Orang yang dekat dengan Tuhannya akan melaksanakan kepemimpinannya
berdasarkan keridhaan-Nya serta dapat dengan mudah menjadi penghubung antara
jamaah dan Tuhannya. Kedekatannya kepada jamaahnya akan mempengaruhi pola
kepemimpinannya untuk melayani jamaahnya dan berorientasi kepada kepentingan mereka.
3. Pola Kepemimpinan
dalam Shalat Berjamaah
Kepemimpinan yang berlangsung
dalam shalat berjamaah menganut pola demokratis yaitu dari, oleh, dan untuk jamaah.
Kepemimpinan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Imam dipilih oleh jamaah
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh syari. Imam dapat dipilih
secara permanen dengan disertai wakilnya maupun dapat juga dipilih pada saat
itu juga jika imam tetap dan wakilnya berhalangan hadir. Jelasnya, imam shalat
dipilih dari kalangan jamaahnya bukan dari pendatang kecuali imam yang ditunjuk
lebih menghargai tamunya misalnya.
Perjalanan kepemimpinan dilakukan
oleh jamaah melalui panggilan muazin ‘hayya ‘alash shalaah’ (=mari
mendirikan shalat) dan ‘hayya ‘alal falaah’ (= mari berbuat keberuntungan).
Jika imam berbuat kekeliruan, jamaah yang mengingatkannya ( makmum laki-laki
akan berkata, “Subhaanallah” dan makmum perempuan akan menepuk pahanya).
Hal ini berarti, meskipun imam merupakan pilihan, kesalahan atau kekeliruan
tetap harus diingatkan oleh jamaah. Begitu pula gerakan shalat dari takbir
sampai salam, makmum harus mengikuti imam. Makmum tidak boleh mendahului imam.
Pelaksanaan kepemimpinan oleh imam
harus berorientasi kepada jamaah. Imam tidak diperkenankan memanjangkan bacaan
suratnya manakala jamaahnya orang awam. Begitu pula jika ada anak kecil di
dalam jamaahnya, imam harus mempersingkat shalatnya. Setelah menyelesaikan
shalatnya, imam memimpin zikir dan berdoa tidak saja untuk dirinya tetapi juga
untuk jamaaahnya.
4. Penutup
Akhirnya, kepemimpinan dalam shalat berjamaah menunjukkan kepemimpina
yang sangat ideal yang dapat diadopsi dan diterapkan dalam kepemimpina suatu
organisasi, lembaga, instansi, bahkan suatu negara. Wallahua’lam bishshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar