Senin, 22 Mei 2017

SUFISTIK DALAM PUASA




SUFISTIK DALAM PUASA

OLEH : ABAH MALIKUN





   1.      Pendahuluan

              Antara sufistik dan puasa merupakan dua hal yang saling berhubungan erat dan saling menyempurnakan. Sufistik merupakan karakter pencari jalan menuju cinta tertinggi, cinta Illahi dengan sedikit melepaskan sifat hewani dan setani yang melekat dalam jiwanya. Cara yang ditempuh oleh kelompok sufisme adalah berlapar dahaga (puasa), diam (memelihara lisan dari perkataan yang yang tidak penting dan tidak bermanfaat), tidak tidur (bertahajud) dan berhulwat (membatasi pergaulan).[1]

              Puasa adalah ibadah khusus (mahdhah) yang berupa menahan semua yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Yang membatalkan puasa di sini berupa makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, berhubungan badan dengan suami atau isteri, keluar darah haid atau nifas, dan mengeluarkan mani.[2] Di samping itu ada perkara yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing (ghibah), adu domba, melihat dengan syahwat, marah, dan berbuat aniaya.[3] Al Quran juga menegaskan bahwa tujuan berpuasa adalah meraih jiwa taqwa, derajat tertinggi di sisi Rabb-nya.[4]

             Jelaslah bahwa hakikat dan tujuan puasa searah dengan tujuan kelompak sufisme. Lalu apa itu sufistik? Apa pula hakikat puasa? Bagaimana keterkaitan antara keduanya? Kajian ini menjawab tiga permasalahan tersebut dengan membahas term pengertian sufistik, hakikat puasa, dan korelasi/hubungan antara sufistik dan puasa.

   2.      Pengertiann Sufistik

              Sufistik adalah karakter paham sufisme. Sedang sufisme menurut Dr.C.B.Van Haeringen adalah aliran kerahanian mistik dalam Islam.[5] Sufistik tiada lain adalah karakter seoarang ahli ibadah (abid) untuk mencapai maqam ihsan. Maqam (kedudukan) ini menempatkan abid dalam keadaan bermusyahadah atau menyaksikan Rabbul Jalal. Jika belum sempurna, seorang abid sadar betul bahwa Rabbul Jalal sedang sedang menatapnya.

              Untuk dapat memiliki karakter sufistik, seorang abid harus melakukan latihan jiwa (riyadhatun nafs). Seperti yang disarankan Imam Ibnu Athaillah dalam kitab Alhikam, latihan jiwa berupa lapar, diam, melek (Jawa), dan hulwat (Arab). Lapar dalam hal ini adalah puasa. Tentang puasa ada pembahasan tersendiri.

              Diam pada hakikatnya adalah memelihara lisan dari perkataan yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Hak lisan hanya ada empat, yaitu membaca Quran (qira-atul Quran), ingat kepada Allah (dikrullah), berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), dan memenuhi kebutuhan (liqadhail hajat).[6] Di luar kempat hal tersebut merupakan  ucapan yang sia-sia dan tidak bermanfaat dan mesti dihindari.

             Melek (Jawa) adalah simbul kerinduan seorang abdi kepada Rabb-nya yang tidak pernah tidur. Secara khusus Allah memerintahkan Rasulullah SAW, “Dan dari sebagian malam, bangunlah untuk shalat sebagai ibadah tambahan setelah shalat fardhu, semoga Allah menempatkanmu dalam kedudukan yang terpuji.”[7] Tujuan tahajud adalah meraih kedudukan terpuji di sisi Rabbul Jalal yang yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya.

              Hulwat mengandung mengasingkan diri dari manusia dan asyik bermunajad kepada Sang Kekasih Abadinya. Pada zaman terkini, hulwat diartikan membatasi diri dari pergaulan yang manusia dan hanya hanya bergaul dengan hamba-hamba-Nya yang shalih dalam majelis-majelis yang dihadiri oleh ulama-ulama shalih karena majelis-mejelis tersebut pada hakikatnya adalah majelis Allah dan Rasul SAW.

   3.      Hakikat Puasa

              Puasa (shaum) menurut bahasa adalah menahan dari sesuatu yang menimbulkan nafsu. Di dalam syariat, puasa diartikan menahan perkara yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.[8] Tujuan puasa, seperti diterangkan di atas, adalah meraih jiwa yang takut terhadap perbuatan maksiat karena puasa mampu memecahkan syahwat yang menjadi pendahulu terjadinya perbuatan maksiat.

              Hakikat puasa  pada dasarnya diuraikan dalam derajat puasanya orang khusus yaitu menahan pandangan (ghabdhul bashar); memelihara lisan (hifzhul lisan) dari adu domba, menggunjing, dusta, sumpah palsu; menjaga telinga (kafful udzun) dari mendengarkan hal-hal yang dibenci;  menjaga semua anggota badan dari perbuatan yang dibenci Allah; dan menjaga perut dari makanan yang syubhat ketika berbuka. Yang lebih tinggi adalah derajat puasa orang yang paling khusus dari yang khusus yaitu menahan hati dari rencana yang hina, pikiran duniawi, dan melihat selain Allah.[9]

              Dari uraian tersebut, nampaklah bahwa puasa merupakan amal melepaskan jiwa dari hal-hal yang bisa menghilangkan hakikat kemanusiaan itu sendiri sebagai hamba yang mencintai dan dicintai Allah. Itulah sebabnya dalam puasa terdapat amal batin yang sufistik seperti makrifatullah, mahabatullah, musyahatullah, dan muraqabatullah.

   4.      Korelasi Sufistik dan Puasa

              Sufistik merupakan karakter ahli ibadah yang dalam setiap amalnya bersandar kepada cintanya kepada Allah yang sangat dalam. Oleh karena itulah, karakter tersebut nampak dalam aktivitas batinnya berupa makrifat, mahabbah, musyahadah, dan muraqabah. Sedang puasa dilihat dari hakikatnya juga nampak keempat aktivitas batin tersebut.

              Dilihat dari tujuannya, puasa memiliki nilai tertinggi dari seluruh nilai yang diinginkan ahli ibadah dari Tuhannya yaitu nilai taqwa. Pada akhirnya, dalam puasa terdapat karakter sufistik yang disadari atau tidak oleh pelakunya.

   5.      Penutup

              Sufistik adalah karakter ahli ibadah yang menginginkan cinta abadi dari Rabbul Jalal . Sedangkan puasa menggiring pelakunya untuk meraih derajat tertinggi di sisi Rabbul Jalal. Oleh karena itu, antara sufistik dan puasa bagaikan dua sisi mata uang.




[1][1] Ibnu Athaillah dalam kitab Alhikam
[2][2] Imam Nawawi Jawi dalam kitab Sulam Taufiq
[3] Syekh Utsman al Khaubawi dalam kitab Durratun Nashihin hlm. 12
[4] Q.S.al Baqarah [2]: 183
[5] Wikipidia.org diunduh 4 Mei 2017
[6] Imam Abdul Hamid al Ghazali dalam kitab Tazkiyyatun Nufuus.
[7] Q.S. al Isra: 79
[8] Imam Utsman al Khaubawi dalam kitab Durratun Nashihin hlm. 10
[9] Ibid hlm. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB MTs AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MTs  AL ADZKAR TAHUN 2024/ 2025   VISI MTs AL ADZKAR:  Terbentuknya anak shalih yan sehat, cerdas dan t...